Kuliah, Ibadah, dan Pengabdian: Catatan Perjalanan Kuliah S2 di Iran

1
4895

Keinginan kuat dan kerja keras — dua kualitas inilah yang bisa dipelajari dari sosok Dadan Maula Darmawan. Walaupun banyak rintangan yang ia hadapi dalam mencapai tujuannya untuk melanjutkan kuliah S2 di luar negeri dan menunaikan ibadah di tanah suci, ia tidak pernah menyerah. Mari kita saksikan cerita-cerita uniknya saat menjalani kuliah S2 di Iran dan berpetualang keliling dunia dengan saudara kembarnya, Deden Mauli Darajat.

***

Nama saya Dadan Maula Darmawan, bukan siapa-siapa, hanya pencari dan pencinta ilmu.

Selama tiga tahun, antara tahun 2005 sampai 2007, kegagalan demi kegagalan saya alami ketika mencari beasiswa untuk melanjutkan studi di luar negeri. Namun, Alhamdulillah, akhirnya takdir berkata lain. Pada tahun 2007, saya akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa dari Kementerian Riset dan Teknologi Iran untuk berkuliah di negeri para mullah tersebut.

Kedinginan di depan asrama
Kedinginan di depan asrama

Saya selalu terkesan dengan Iran karena banyaknya ulama dan ilmuwan Muslim ternama dari zaman abad pertengahan. Diantaranya: Imam Al Ghazali, Umar Khayyan, Abu Yazid Al Bustami, Al Hafidz Al Shirazi, As Saudi Al Shirazi, dan masih banyak lagi. Selain itu, perawi (Ahli Riwayat Hadits) Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Imam Attirmidzi, Imam Abu Daud, Imam Ahmad, dan yang lainnya, kebanyakan adalah berkebangsaan Persia. Ketika itu wilayah Persia juga mencakupi Uzbekistan, Tajikistan, Afganistan, dan negara istan-istan lainnya.

Saya tiba di Tehran, ibukota Iran, pada tanggal 1 Januari 2008, disambut oleh hujan salju dengan cuaca sekitar 1-5 derajat Celsius dan ketebalan salju 30 cm di atas tanah. Sangat amat dingin bagi saya. Alhamdulillah, sebelum berangkat, kami para penerima beasiswa ke Iran sudah diwanti-wanti oleh penyelenggara beasiswa untuk mempersiapkan pakaian tebal.

Belajar Bahasa Persia dan Ziarah ke Makam Ibnu Sina

Dadan MD3
Di depan gedung kampus

Sebelum perkuliahan dimulai, saya dan seorang teman dari Indonesia mengikut kelas Bahasa Persia, yang merupakan bahasa pengantar perkuliahan. Pendidikan bahasa saya tempuh di Almustafa International University di kota Gorgan, utara Iran, selama 7 bulan (saat itu, hanya kami berdua warga negara Indonesia yang tinggal di Gorgan!).

Ada sedikit cerita petualangan di masa-masa itu. Waktu saya baru sebulan tinggal di Iran, walaupun belum lancar berbicara dengan Bahasa Persia, kami berdua sempat jalan-jalan ke kota Hamedan, sekitar 600 kilometer ke selatan, melewati Tehran. Tiba di Kota Hamedan, kami berziarah ke makam dan museum Ibnu Sina, ulama dan ilmuwan Muslim di zaman keemasan, yang terkenal sebagai ahli kedokteran. Di dunia barat, ia dikenal sebagai Aveseina.

Ada kejadian yang menarik ketika kami kembali ke kota Gorgan. Kami naik bus malam dengan tujuan akhir Kota Masyhad. Yang semestinya kami turun di Kota Gorgan jam 3 pagi, kami ketiduran, dan baru terbangun waktu subuh jam 5. Ternyata kota Gorgan sudah terlewat. Akhirnya dengan bahasa yang masih jauh dari lancar, kami menggunakan campuran Bahasa Arab dan Inggris plus bahasa tubuh, bahwa kami harusnya turun di Gorgan.

Dengan Bahasa Persia, sang supir menjelaskan bahwa kami mesti turun nanti setelah kami tiba di kota perhentian selanjutnya, antara Gorgan dan Masyhad, untuk kembali naik bus jurusan Gorgan.

Alhamdulillah, siang hari menjelang sore, kami tiba di asrama mahasiswa.

Merintis Organisasi

Setelah menyelesaikan pendidikan Bahasa Persia, Alhamdulillah, saya dapat melanjutkan studi S2 untuk belajar Matematika Aljabar dan Administrasi Bisnis di Imam Khomeini International University, di kota Qazvin, yang terletak sekitar 150 kilometer di sebelah barat kota Tehran.

Pada saat kuliah, saya dan teman-teman mahasiswa Indonesia yang belajar di berbagai kampus di Iran (terutama di Tehran dan sekitarnya) sepakat untuk bersama-sama mendirikan Ikatan Pelajar Indonesia di Iran (IPI Iran), yang diresmikan pada bulan Juli 2009. Kegiatan pertama kami adalah penggalangan dana untuk musibah di Jambi dan Riau.

Mahasiswa Indonesia di Tehran sedikit, hanya sekitar 15 orang, yang pada saat itu menempuh berbagai strata pendidikan dan jurusan. Ada yang mengambil S1, S2, dan S3, jurusan Sastra Persia, Matematika, Kedokteran, Arsitektur, Manajemen Industri, Biologi, Perfilman, Filsafat, Ilmu Perbandingan Mazhab, dan lain-lain. Kami mahasiswa yang tinggal sekitar Ibu Kota Tehran, setiap hari Jumat mendapat amanah untuk menjadi Imam dan Khotib Jumat di KBRI Tehran.

Mayoritas mahasiswa Indonesia di Iran (sekitar 100-an) belajar keilmuan agama di kota Qom.

Alhamdulillah selama di Iran, saya sempat berkeliling ke kota-kota besar, termasuk kota-kota bersejarah serta makam dan museum para ilmuwan ternama. Kami para mahasiswa sering diperbantukan untuk kegiatan-kegiatan KBRI Tehran, semisal bazaar internasional, mendampingi (menjadi pemandu dan penerjemah bahasa Persia) tamu negara, termasuk Presiden, Menteri, Anggota DPR dan MPR, dan lain sebagainya. Inilah pengalaman yang sangat berharga bagi kami mahasiswa.

Di depan Menara Azadi, Tehran, dengan saudara kembar saya Deden
Di depan Menara Azadi, Tehran, dengan saudara kembar saya Deden

Bertemu Kembaran di Turki

Pada liburan musim semi Maret 2010, saya naik kereta ke Turki. Alhamdulillah, setelah 2 tahun terrpisah, saya bisa bertemu saudara kembar saya, Deden Mauli Darajat, di Ankara Turki. Seperti saya, Deden juga sedang mengemban pendidikan S2 dengan beasiswa dari pemerintah Turki.

Mirip kan?
Mirip kan?

Selama 2 minggu saya jalan-jalan di Turki, ke berbagai museum, terutama di Ankara dan Istanbul. Ketika ke museum-museum tersebut, saya bisa masuk gratis memakai kartu mahasiswa milik Deden (ga ketahuan). Tapi hal ini jangan diikuti ya.

Tahun depannya, 2011, Deden yang berkunjung ke Iran.

Si Kembar yang Mendunia

Pada awal tahun 2010, saya mendapat amanah untuk memimpin IPI Iran. Lalu pada bulan Juli 2010, IPI Iran mendapatkan undangan untuk menghadiri Workshop Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika, di Kairo, Mesir. Alhamdulillah dengan dana tabungan dari beasiswa saya bisa berangkat ke Mesir, dimana saya kembali ditakdirkan bertemu dengan Deden. Saya mewakili IPI Iran, sedangkan Deden mewakili Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Turki.

Selama di Mesir, Alhamdulillah kami disambut seperti tamu penting, dijemput di bandara dengan kendaraan KBRI Kairo. Kami tidak asing dengan teman-teman mahasiswa di Kairo, karena kami kenal sejak belajar di pesantren (Pondok Modern Darussalam Gontor). Jadi kami ber-reuni dengan teman-teman dan bernostalgia.

Setelah acara workshop selesai, kami bisa jalan-jalan ke berbagai destinasi wisata, seperti piramida, pantai Alexandria, ke makam-makam ulama (termasuk makam Imam Asy-syafii), dan lain sebagainya.

Pada bulan Oktober 2010, IPI Iran kembali diundang untuk menghadiri Simposium Internasional PPI Dunia di KBRI London, Inggris. Pada waktu itu saya dapat amanah untuk menjadi salah satu steering committee acara tersebut, pimpinan sidang mewakili PPI Timur Tengah, serta anggota Dewan Formatur dan Deklarator berdirinya PPI Dunia.

Di Inggris, saya dan Deden dipertemukan kembali. Setelah selesainya acara, kami berdua berkeliling ke berbagai destinasi wisata dan stadion sepak bola ternama di beberapa kota di Inggris. Alhamdulillah.

Jatuh Bangun Perjuangan Naik Haji

Bersama teman-teman kuliah
Bersama teman-teman kuliah

Sebelum berangkat ke Iran, saya punya niat dan doa agar bisa melaksanakan ibadah haji. Pada tahun 2008, saya melihat ada mahasiswa Indonesia di Iran yang berangkat haji dengan program tenaga musiman (temus) petugas haji, yg diselenggarakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia untuk mahasiswa Indonesia di wilayah Timur Tengah. Hati ini berharap untuk mendapat giliran. Namun, harapan tinggal harapan ketika pada tahun 2009 program temus haji untuk mahasiswa Iran dihapuskan karena bukan negara berbahasa Arab.

Pada tahun 2009 tersebut, saya berkesempatan mendampingi Menteri Agama, Bapak KH Maftuh Basyuni, ketika berkunjung ke Iran. Ketika makan malam di hotel, saya sempat menyampaikan keinginan saya untuk ikut dalam temus, beliau meng-iya-kan. Tapi ada isyarat bahwa temus untuk mahasiswa non-Bahasa-Arab akan dihapuskan. Ternyata benar adanya.

Tahun 2010, saat diadakannya Konferensi Badan Koordinasi PPI Timur Tengah di Maroko, saya meminta dukungan kepada teman-teman yang hadir via media sosial (karena saya tidak hadir) agar salah satu rekomendasi hasil konferensi adalah membuka kembali temus yang ditujukan kepada Kementerian Agama untuk negara-negara non-Bahasa-Arab di wilayah Timur Tengah, seperti Iran, Pakistan, Turki, dan lain-lain.

Hasil rekomendasi tersebut saya serahkan langsung ke kantor Kementerian Agama di Jakarta ketika saya pulang untuk penelitian tesis, bulan februari 2011. Apa hasilnya? Sebelum kembali ke Iran saya tanya lagi ke Kementerian Agama, dan jawabannya adalah sama, ditutup.

Ketika kembali ke Iran, saya masih berusaha bagaimana caranya bisa berangkat ke Mekah untuk ibadah haji, atau kalau tidak bisa, minimal ibadah umroh. Saya sempatkan datang ke kedutaan Arab Saudi di Tehran, dan jawaban dari mereka adalah, bahwa untuk tahun itu ada kebijakan baru, yaitu untuk orang asing harus berangkat ibadah haji dari negara asalnya. Subhanallah.

Singkat cerita, setelah berusaha ke sana ke mari. Saya tetap berdoa, semoga masih ada jalan.

Mendadak Jadi Pramugara

Setelah saya wisuda, pada bulan Juni 2011, saya ditawari teman di Iran untuk naik haji gratis. Tentunya, pertamanya saya tidak percaya. Setelah saya konfirmasi ke sumber informasi teman saya itu, seorang insinyur pesawat Mahan Air (maskapai penerbangan Iran), saya diarahkan untuk mengirimkan email ke sebuah alamat.

Beberapa jam setelah saya mengirimkan email tersebut, saya ditelfon dari seseorang di Indonesia. Orang itu menawarkan saya untuk bekerja sama dengan perusahaannya, menjadi awak kabin pesawat, menjadi pramugara. Saya pun diam sejenak. Tidak pernah dalam hidup saya terfikir sedikit pun untuk bekerja di atas pesawat. Lalu orang itu mengatakan bahwa posisi yang ditawarkan memang khusus untuk penerbangan pada musim haji dari negara-negara yang berbahasa Persia. Setelah telefon ditutup, saya tidak bisa tidur memikirkan yang belum pernah dipikirkan.

Pihak maskapai (Saudi Arabia Airlines) memang perlu banyak orang yang bisa berbahasa Persia dan Inggris, syukur-syukur kalau mampu Bahasa Arab juga. Saya menawarkan ke teman-teman mahasiswa di Tehran, siapa yang mau ikut naik haji gratis. Awalnya semua mau ikut, tapi pada akhirnya hanya 5 orang yang mendaftar.

Awal Agustus 2011, kami terbang ke Bangkok, Thailand, untuk pendidikan dan pelatihan menjadi awak kabin selama sebulan setengah. Disana kami belajar tentang kepesawatan, 70 persennya tentang keselamatan. Kami dilatih bagaimana ketika pesawat dalam keadaan darurat, kami harus bisa mendaratkan pesawat dengan selamat. Bagaimana kalau pilot pingsan atau meninggal, atau tidak ada yang bisa mengemudikan pesawat. Kami pun dilatih terjun dengan balon besar seperti tangga dari pintu pesawat yang terdampar di lautan, memadamkan pesawat kalau ada kebakaran, dan lain sebagainya.

Sebelum kami diterbangkan ke Jeddah, kami diperkenankan pulang kampung ke Indonesia selama seminggu.

Ketika sampai di Jeddah, kami memulai keliling dunia. Kami bekerja sebagai awak kabin penerbangan domestik Arab Saudi dan luar negeri. Berbagai negara kami datangi, dari Afrika Utara sampai Asia Selatan. Maroko, Aljazair, Mesir, Sudan, Turki, Iran, India, Bangladesh. Berbagai kota-kota di negara-negara tersebut. Ada yang hanya 1-2 jam, tapi ada juga yang 1-2 malam.

Si Kembar Naik Haji

Ketika memasuki tanggal 7 Dzulhijjah, kami libur terbang. Kami memaksimalkan waktu untuk ibadah haji melalui biro perjalanan setempat.

Tanggal 9 Dzulhijjah, saya ditakdirkan kembali bertemu dengan Deden di padang Arafah ketika sebelum wukuf. Deden ikut jamaah dari Turki, dan akhirnya ikut bersama saya dan ketiga teman dari Iran mulai dari jumrah, tawaf, dan mabit di Mina.

Disana, saya dan Deden banyak diskusi, apa yang akan kita bawa sepulang ke Indonesia. Kami berdua masih aktif di PPI Dunia. Alhamdulillah tahun itu banyak teman-teman PPI Dunia dari berbagai negara melaksanakan ibadah haji, dan disana kami sepakat untuk bersilaturahim melaksanakan Muktamar Internasional PPI Dunia, yang lebih menitikberatkan kepada pelayanan ibadah haji Indonesia.

Setelah prosesi haji selesai, Deden kembali ke Turki dan saya kembali ke pesawat. Terbang ke berbagai kota dan negara. Di sela-sela waktu kosong, saya sempatkan umroh sendiri saat jadwal terbang tidak terlalu padat. Selama tinggal di Arab Saudi, dari Jeddah saya tidak pernah ke kota Madinah lewat darat, selalu naik pesawat. Karena pekerjaan, ya otomatis gratis.

Setelah menyelesaikan pekerjaan sebagai awak kabin pesawat selama kurang lebih 4 bulan (200-300 jam terbang) saya kembali ke Iran akhir Desember 2011. Lalu di awal 2012, saya pulang kembali Ke Indonesia.

Alhamdulillah, akhirnya saya berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umroh
Alhamdulillah, akhirnya saya berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umroh

Pulang dan Mengabdi di Kampung Halaman

Sepulangnya dari Iran ke Banten, saya, Deden, dan ayahanda membangun yayasan pendidikan, kemudian membangun ruko untuk memajukan perekonomian setempat. Di akhir 2012, saya menghadap Kyai pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, untuk minta nasihat, doa, dan restu agar niatan untuk mendirikan pondok pesantren terwujud.

Di tahun 2013, kami memulai pembangunan dengan mendirikan pabrik baru bata. Batu bata ini akan digunakan untuk membangun asrama dan kelas. Tahun 2015, kami mulai dengan Madrasah diniyah, majlis taklim dan, akhirnya, pondok pesantren.

Saya dan Deden kembali ke kampung halaman untuk mengabdi kepada Ibu Pertiwi. Membantu kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa.

***
Sumber foto: koleksi penulis

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here