Saat Musik Bersuara di Hadapan 500 Pemuda: Pengalaman Mengikuti 9th UNESCO Youth Forum di Paris

0
3372
Saat menjadi penampil di panggung. (Foto oleh penulis)

Jangan pernah berhenti bermimpi. Itu kesimpulan yang didapatkan oleh kontributor kami, Shintia, ketika akhirnya ia menginjakkan kaki di Paris setelah bermimpi selama 17 tahun. Bukan untuk tamasya, melainkan menjadi delegasi dalam 9thUNESCO Youth Forum Paris di mana tak hanya ia mengadvokasikan isu sosial, tapi juga menjadi penampil musik tradisional Indonesia.

Keep on Dreaming. No matter how big it is, no matter how impossible it may sound. Usaha tidak akan pernah mengkhianati proses. Kamu tidak akan pernah tahu kapan dan bagaimana mimpimu terjawab. Terlebih lagi, saat mimpi itu ternyata bisa membawa nama baik Indonesia.

17 tahun. 17 tahun adalah waktu yang menggambarkan seberapa lama saya bermimpi untuk menginjakkan kaki saya di Paris, Perancis. Bermimpi untuk dapat berbicara Bahasa Perancis, mengetahui lebih jauh sejarah dan kebudayaan mereka, serta membuktikan daya magis yang selalu menarik warga dunia untuk kembali lagi kesana.

Saat menjadi penampil di panggung. (Foto oleh penulis)
Saat menjadi penampil di panggung. (Foto oleh penulis)

Mimpi itu terjawab setelah saya terpilih menjadi salah satu dari dua delegasi yang berangkat dari Indonesia, sebagai pemuda representasi dari UNESCO Indonesia untuk mengikuti 9thUNESCO Youth Forum Paris, Perancis 2015. Pada saat itu, saya sudah menyelesaikan studi S1 dengan jurusan hubungan Internasional di Universitas Paramadina dan sedang berjibaku menyelesaikan tesis saya untuk menyelesaian studi master Komunikasi di London School of Public Relations. Perjalanan untuk sampai ke Paris, Perancis, tidaklah mudah. Selain harus mendapatkan rekomendasi dari organisasi kepemudaan yang saya ikuti (Ikatan Alumni Pemuda Jakarta Sister City), saya dan Biru (salah satu delegasi lainnya) juga harus dapat membuktikan kepada UNESCO Indonesia, bahwa kami layak untuk menjadi pemuda representatif Indonesia. Proses ini membawa banyak sekali pelajaran pada saya dan membuka sudut pandang yang berbeda tentang forum kepemudaan internasional.

Sekilas tentang 9thUNESCO  Youth Forum

UNESCO Youth Forum terbentuk sejak tahun 1999 sebagai wadah serta pintu kesempatan bagi para pemuda untuk menyuarakan ide dan perhatian mereka kepada negara-negara anggota anggota UNESCO dan membantu untuk membentuk arah UNESCO. Setiap dua tahun sekali, para pemuda dari negara-negara anggota UNESCO bersama-sama hadir di kantor pusat UNESCO di Paris untuk mendiskusikan dan memperdebatkan bidang-bidang yang menjadi perhatian.

Young Global Citizens for a Sustainable Planet merupakan tema yang diangkat untuk 9thUNESCO Youth Forum di tahun 2015. 500 pemuda pemudi dari 159 negara anggota UNESCO hadir dan memfokuskan diri untuk membahas isu terkait Perubahan Iklim dan agenda pembangunan berkelanjutan pasca 2015. Agenda ini saat penting karena hanya berselang satu bulan setelah KTT PBB untuk mengadopsi Agenda pembangunan pasca 2015 dan satu bulan sebelum Konferensi Perubahan Iklim PBB. Hasil dari forum ini karenanya ikut memastikan bahwa suara para pemuda tetap diutamakan dan menjadi pusat agenda pembangunan baru.

UNESCO Headquarter, Paris (Foto dari UNMultimedia.com)
UNESCO Headquarter, Paris (Foto dari UNMultimedia.com)

Sebelum keberangkatan menghadiri forum, seluruh delegasi yang hadir di 9thUNESCO Youth Forum, mendapatkan email bahwa tim UNESCO Paris mencari pemuda representatif untuk menjadi penampil pada saat acara penutupan. Tidak main-main, para pemuda ini wajib memberikan detail pengalaman keahlian mereka dibidang musik karena akan tampil dihadapan ratusan pemuda lainnya serta tamu kehormatan dari setiap negara. Berbekal informasi ini, saya memberanikan diri menyertakan profil pengalaman saya, sebagai pemusik tradisional di berbagai negara di beberapa tahun belakangan. Tak disangka, kecintaan saya pada musik dan instrument musik tradisional dapat sedikit memberikan kontribusi untuk Indonesia. Setelah mengirimkan profil, alhamdulillah saya terpilih untuk menjadi salah satu penampil. Namun, yang menjadi tantangan adalah ketika mengetahui bahwa para penampil wajib membawa alat musiknya sendiri saat pertunjukkan berlangsung. Setelah berpikir panjang, dengan bantuan UNESCO Indonesia dan juga KWRI UNESCO di Paris, saya mendapatkan bantuan pinjaman alat musik dari KBRI Indonesia. Hal ini setelah melalui pertimbangan panjang bahwa alat musik yang dimiliki KBRI Indonesia tentu lebih lengkap dan lebih mewakilkan ciri khas Indonesia dibandingkan alat musik tradisional yang saya miliki di rumah. Yang harus dipikirkan kemudian ialah menentukan instrument musik yang saya pakai saat pertunjukan.

Hari pertama, tanggal 25 Oktober 2015, merupakan hari perkenalan dengan para pemuda lainnya serta hari penentuan fokus pembahasan forum, dimana terdapat dua fokus besar pembahasan:

  1. Young Global Citizens for 2030 Agenda for Sustainable Developmentdengan sub tema : (1.1) Right, freedoms, responsibilities. (1.2)Diverse, Identity. (1.3)Learning, personal development and sustainability.
  2. Young Global Citizens for a Sustainable Planetdengan sub tema: (2.1) Knowledge, Awareness and Media. (2.2) Local practices, biodiversity and prevention of Natural Disasters. (2.3) Capture the energy of youth.
Selesai berdiskusi dalam forum. (Foto oleh penulis)
Selesai berdiskusi dalam forum. (Foto oleh penulis)

Di hari kedua, tanggal 26 Oktober 2015, para pemuda dibagi menjadi kelompok kecil untuk masuk kedalam sub tema tersebut. Saya masuk kedalam sub tema right, freedoms, responsibilities dan bergabung dengan delegasi dari Australia, Inggris, dan Amerika. Sesuai dengan sub tema ini, pembahasan antara delegasi ternyata berjalan begitu intens. Ditengah diskusi, kami dibekali peralatan ATK bekas dan diminta untuk menyusun peralatan ATK tersebut sesuai imajinasi kami untuk menjadi satu bentuk yang sesuai dengan pembahasan sub tema.  Disinilah saat dimana imajinasi dan kemampuan berkomunikasi diuji. Pada akhirnya, kami pun berhasil membuat satu rangkuman yang nantinya akan menjadi rekomendasi global.

Di penghujung hari ini pula saya baru saja diberikan informasi bahwa saya terpilih untuk tampil bersama UNESCO Goodwill Ambassador, violinist asal Jepang, Mr. Eijin Nimura. Sedikit panik karena baru saja dikabari dan akan rehearsal di hari esoknya, saya pun memutuskan untuk berlatih secara impromptu menggunakan Rindik, alat musik dari Bali, dan Biru memakai Gambang. Hanya memiliki waktu kurang dari 24 jam, kami memutuskan untuk memberikan yang terbaik untuk Indonesia, dengan kemampuan musik yang dimiliki.

Di hari ketiga, selesai forum, saya dan Biru berkesempatan untuk latihan dengan Mr. Eijin Nimura. 30 menit adalah waktu yang diberikan kepada kami bertiga untuk menyatukan irama musik tradisional dari sisi Indonesia dan juga modern dari sisi Mr. Eijin Nimura. Beruntungnya, Mr. Eijin Nimura sangat ramah dan paham betul bahwa kami yang masih amatir ini, butuh bimbingan. Di akhir sesi latihan, Beliau meyakinkan bahwa permainan kami sangat baik dan akan menjadi penampilan yang epik.

Saat menjadi penampil di panggung. (Foto oleh penulis)
Saat menjadi penampil di panggung. (Foto oleh penulis)

Tanggal 28 Oktober 2015, hari terakhir dan hari pertunjukan. Di hari ini, hasil diskusi dari sub tema forum di elaborasi bersama-sama dan dirangkum untuk manjadi rekomendasi global dari segi pemuda saat Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015 berlangsung. Saat pertunjukan dimulai, dengan langkah yang mantap, saya dan Biru menuju ke atas panggung. Bersama Mr, Eijin Nimura, kami berhasil memainkan musik hasil latihan selama 30 menit dengan cukup baik. Masih terngiang rasanya tepuk tangan yang tak henti ketika kami selesai berkolaborasi. Saya ingat betul bersalaman dengan beberapa delegasi lainnya, berteman dengan para penampil,dan berbincang hangat dengan Mr. Eijin Nimura serta top delegasi lainnya. I’m blessed. Pengalaman ini mengajarkan saya, bahwa musik memiliki “suara” dan memberikan sudut pandang yang berbeda.


BAGIKAN
Berita sebelumyaContinuing the Baton of Leadership: New 2019/2020 Management Team
Berita berikutnyaTravel (cheaply) as a Student and Make an Impact in Southeast Asia
Shintia Pramita Dewi, atau akrab dipanggil Shintia telah menyelesaikan masternya dengan Cum Laude di bidang Corporate Communication. Saat ini, Shintia berkontribusi sebagai penulis lepas serta penerjemah di beberapa perusahaan. Shintia mengembangkan minatnya di dunia seni sejak kecil, dengan ikut berbagai perlombaan seni, menjadi delegasi budaya Indonesia di berbagai negara sebagai pemusik dan penari. Kecintaannya terhadap dunia seni dan komunikasi juga mendorongnya makin produktif dalam bentuk penulisan buku anak-anak yang disertai ilustrasi yang sedang dikerjakannya. Di waktu senggang, Shintia suka berlari, menulis, bernyanyi, “melukis” di wajah orang, dan menghabiskan waktu dengan keluarga.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here