Perpustakaan, Salah Satu Tempat Belajar Favorit Mahasiswa di Amerika

0
3270

Seperti biasa, selepas makan siang di apartemen, saya bersiap-siap dan segera bergegas menuju ke perpustakaan. Tak lupa hal-hal yang sekiranya saya butuhkan seperti laptop, textbooks, headsets, buku catatan dan materi-materi yang akan saya pelajari, dan tak kalah penting yakni logistik, biasanya saya menyiapkan roti, crackers, buah dalam ziplock dan juga sebotol kopi, coklat, ataupun air putih untuk menemani saya belajar. Saya ambil sepeda di basement apartemen dan meluncur ke perpustakaan yang jaraknya kebetulan cukup dekat dengan tempat saya tinggal.

Saya memulai kebiasaan untuk belajar di perpustakaan sejak pertengahan semester satu (saat ini saya baru saja menyelesaikan semester ketiga). Awalnya saya terbiasa menghabiskan waktu untuk belajar di apartemen saja karena kamar saya pun cukup nyaman. Saya beralih untuk belajar di perpustakaan kampus semenjak saya merasakan ada hal-hal yang membuat waktu yang saya alokasikan terasa tidak efektif ketika belajar di rumah sendiri. Sebenarnya gangguan-gangguan tersebut lebih berasal dari dalam diri sendiri yang terkadang tidak mampu menahan untuk tidak melakukan hal-hal lain selain belajar. Ada saja kegiatan yang menginterupsi konsentrasi belajar dan membuatnya tidak efektif. Internet adalah hal pertama yang paling mengganggu, tentu saja bukan salah internetnya. Koneksi internet di sini relatif lebih cepat dibandingkan dengan di Indonesia, karena itu browsing, youtube-ing, dan hal-hal lain menjadi sangat mudah dan tidak memakan waktu. Sayangnya itu menjadi salah satu godaan paling besar buat saya karena ketika belajar atau mengerjakan tugas dengan laptop yang terkoneksi dengan internet, saya akan selalu gatal untuk hampir setiap saat membuka browser dan berselancar untuk hal apa saja, entah itu sosial media, berita, video, dan lainnya. Membaca-baca berita tentu hal baik, tetapi ketika dilakukan di saat sedang belajar yang terjadi adalah kehilangan konsentrasi dan juga waktu. Saya sering terkaget karena sering larut membaca berita di websites dan lupa membaca textbooks yang sedari tadi melambai-lambai menunggu untuk mendapatkan giliran untuk dibaca. Hal kedua adalah ketika belajar di rumah sendiri, saya akan melakukan hal-hal yang tidak penting. Sebentar-sebentar saya akan merasa lapar dan pergi ke dapur melihat-lihat isi kulkas, mengambil beberapa makanan dan duduk di dapur sambil melamun dan mengunyah untuk beberapa saat. Setelah itu ada kemungkinan saya malah mencuci piring dan sebagainya sampai terlupakan bahwa saya sedang belajar. Selain itu, ketika merasa capek duduk belajar, biasanya saya beralih ke kasur dan membaca sambil tiduran, yang terjadi kemudian mudah ditebak, betul sekali, ketiduran. Lain lagi, terkadang saya merasa risih melihat berkas kuliah berserakan di lantai kamar dan kemudian tergoda untuk merapihkan, meskipun pada akhirnya berantakan kembali karena saya mencari-cari file materi. Alih-alih meneruskan belajar saya malah asik membersihkan kamar.

Semenjak saat itulah saya kemudian merasa ada kebiasaan belajar yang perlu dirubah. Pada suatu saat saya berbincang dengan seorang teman, ternyata dia mengalami permasalahan yang sama. Dari hasil perbincangan tersebut kemudian dia mengatakan bahwa belajar di perpustakaan adalah solusi buatnya. Tak perlu lama untuk berpikir, sehari berikutnya saya pun segera mengikuti saran yang dia berikan. Satu-dua hari kemudian saya temukan banyak keuntungan belajar di perpustakaan kampus dibandingkan dengan belajar di rumah, berikut pengalaman saya.

Tempat belajar di perpustakaan banyak pilihannya, tergantung dengan kebutuhan kita. Sebagai contoh, perpustakaan kampus University of Illinois at Chicago (UIC) di mana saya bersekolah saat ini, dan saya yakin mayoritas kampus disini memiliki hal yang sama, yang memberikan kenyamanan ruang belajar baik untuk sendirian maupun berkelompok. Bagi kita-kita yang suka belajar di tempat yang tenang, kita bisa pergi ke ‘Quiet Study Area’ yang hampir pasti ada di setiap perpustakaan. Di perpustakaan UIC Daley Library sendiri quiet study areas ada di lantai dua dan tiga. Di sini biasanya disediakan meja yang terbuka maupun cubicles yang tertutup. Saya sendiri suka dengan cubicles karena sekelilingnya adalah sekat pembatas sehingga pandangan mata terbatasi dan cenderung bisa fokus ke materi di hadapan saya. Meskipun terkadang perpustakaan penuh dengan mahasiswa, tapi di ruangan ini semua dengan tenang menghadapi bahan masing-masing dan kalaupun salah satunya membuat kegaduhan biasanya setiap orang akan memalingkan pandangan ke orang tersebut dan tentu saja itu sinyal agar dia segera tenang dan tidak mengganggu orang lain. Kalau seseorang terlampau berisik, tak segan akan ada yang menegur dengan suara “psssstttt”.

Waktu itu saya hendak mengerjakan tugas kelompok bersama rekan-rekan yang lain. Kami pun bersepakat untuk mengerjakannya di perpustakaan. Dari situlah saya tahu bahwa perpustakaan memiliki banyak ruangan yang bisa digunakan oleh mahasiswa untuk tugas kelompok. Luas ruangannya bermacam-macam dan di sana terdapat meja, kursi, white board lengkap dengan spidol dan penghapus, sangat nyaman. Ruangan semacam ini bisa digunakan untuk belajar kelompok yang memerlukan diskusi dan papan untuk corat-coret materi. Karena lokasinya yang tertutup dan kedap suara, tentu saja semua bisa berekspresi tanpa perlu takut mengganggu orang lain. Selain ruang tertutup, ada juga meja untuk diskusi dan belajar kelompok di tempat terbuka. Belajar bersama di ruangan ini biasanya dibatasi waktu karena ada kemungkinan kelompok belajar lain juga ingin menggunakannya.

Salah satu tempat favorit saya lainnya di library kampus adalah ‘IdeaCommon’. Di sini terdapat beberapa sofa dan meja kecil yang menghadap ke jendela kaca yang lebar dan di luar sana adalah taman kampus. Di IdeaCommon juga terdapat meja dan kursi untuk belajar kelompok baik itu dalam ruangan tertutup maupun terbuka. Selain itu juga ada komputer-komputer yang bisa digunakan bagi yang tidak membawa laptop ke kampus. Melalui komputer ini mahasiswa bisa mem-print apa yang mereka butuhkan, ada kampus yang menggratiskan print ada juga yang memberikan alokasi beberapa dollar. Di UIC sendiri mahasiswa bisa mem-print hingga total USD 12, dari pengalaman saya, jumlah ini cukup untuk satu semester. IdeaCommon ini akan buka selama 24 jam pada waktu ujian midterm ataupun ujian akhir, selain itu biasanya kampus juga menawarkan shuttle bus bagi mahasiswa yang pulang larut malam dari kampus atau perpustakaan pada masa-masa ujian. Hal-hal semacam ini pun biasanya banyak ditawarkan di kampus-kampus di Amerika Serikat. Sementara itu, bagi yang ingin sleepover di perpustakaan, IdeaCommon adalah tempat paling nyaman karena di sini banyak sofa-sofa yang bisa disambung menjadi semacam kasur. Saya sendiri belum pernah tidur di perpustakaan karena tempat tinggal saya dekat, namun salah satu teman saya benar-benar menghabiskan tiga hari dua malam di perpustakaan tanpa pulang ke apartemennya.

Agak berbeda dengan pengalaman saya ketika menempuh pendidikan undergraduate (S1) di negeri sendiri, sepertinya saya amati mahasiswa di sini lebih bersemangat untuk belajar di perpustakaan. Pengalaman saya dulu, perpustakaan kampus (khususnya perpustakaan jurusan) cenderung sepi dan tidak banyak dimanfaatkan untuk tempat belajar baik itu sendiri maupun kelompok. Kalaupun ada mahasiswa biasanya mereka rata-rata adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang sibuk mencari bahan untuk skripsi ataupun tugas akhir dan mencatat beberapa bagian dari buku-buku atau sumber lain. Di sini hampir setelah minggu pertama kuliah, perpustakaan sudah cukup ramai dengan mahasiswa, tidak hanya pada hari-hari kuliah tetapi juga weekend. Oh iya, di Amerika, khususnya di UIC, perpustakaan kampus hanya satu, jadi tidak ada perpustakaan jurusan seperti di Indonesia.

Setelah memulai kebiasaan belajar di perpustakaan, saya dapatkan bahwa ternyata saya bisa memanfaatkan waktu lebih baik. Misalkan saya mengalokasikan empat jam belajar, hampir 90% benar-benar saya efektifkan untuk membaca ataupun mengerjakan tugas tanpa terganggu dengan hal-hal yang saya sebutkan di atas sewaktu belajar di rumah. Sementara yang 10% saya gunakan untuk beristirahat seperti makan bekal atau take a break atau take a nap dan kemudian melanjutkan belajar. Meskipun internet di perpustakaan jauh lebih kencang daripada di apartemen, namun saya tidak tergoda untuk membuka-buka internet untuk urusan yang tidak terkait dengan pelajaran. Mungkin karena suasana perpustakaan yang mengkondisikan mahasiswa untuk benar-benar menghabiskan waktu buat belajar sehingga setiap orang terdorong untuk belajar bukannya membuang waktu untuk hal lain. Saya sendiri ketika sibuk, rata-rata belajar di perpustakaan setelah makan siang dan kemudian pulang ke apartemen untuk makan malam dan kemudian kembali lagi ke perpustakaan melanjutkan belajar hingga malam sekitar pukul 10.30pm. Oh ya, satu lagi hal yang bisa kita dapatkan ketika rajin belajar di perpustakaan. Karena biasanya orang-orang yang suka belajar di sana memiliki kebiasaan yang sama, maka kita akan cenderung menemui orang-orang yang itu-itu saja, dan mereka juga biasanya berada di lokasi-lokasi dan jam-jam tertentu. Hal baiknya adalah kita bisa mendapatkan teman karena selalu bertemu, saya pun begitu. Ada satu orang mahasiswa Amerika yang akhirnya menjadi teman karena saking seringnya bertemu di perpustakaan. Belajar bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan.

Selalu semangat dan selamat belajar!

 

Chicago, 15 Desember 2014

Salam,

Fajar Rochadi

Photo Credit: Richard J. Daley Library, UIC via flickr

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here