‘Where Are You From?’: Refleksi Basa-basi dan Kepekaan Kultural

0
1475

Tinggal di lingkungan yang baru, terkadang menuntut kita untuk cepat beradaptasi dan memahami budaya yang ada di lingkungan tersebut. Apa yang bagi kita wajar, belum tentu bisa diterima di tempat yang baru. Annisa Sekaringrat, kontributor Indonesia Mengglobal yang menempuh studi S2 di University College London (UCL) jurusan Global Migration menceritakan pengalaman dan refleksinya setelah tinggal dan belajar di London mengenai sejarah dan budaya masyarakat setempat.

 

‘Where are you from?’ . Empat kata sederhana ini dulunya adalah pertanyaan wajib yang hampir selalu saya tanyakan ke lawan bicara saya ketika saya berada di luar negeri. Sebelumnya saya berpikir bahwa pertanyaan ini memuaskan keingintahuan saya tentang mereka dan merupakan pembuka percakapan mudah. Saya merasa bahwa setelah mengetahui asal usul mereka, saya bisa mencari topik pembahasan lebih jauh. Namun setelah tinggal di London dan belajar lebih jauh soal identitas, sejarah, dan migrasi di program studi saya; saya menyadari bahwa pertanyaan tersebut nyatanya bersifat personal dan sarat makna. Pertanyaan ini mungkin mudah bagi saya yang lahir, besar, dan tinggal di Jawa, tempat saya menjadi bagian dari etnis mayoritas. Namun tidak bagi mayoritas penghuni London yang memiliki identitas diri yang kompleks dan sejarah migrasi yang rumit.

 

University College London - Sumber foto: Dok. Pribadi
University College London – Sumber foto: Dok. Pribadi

 

London merupakan kota dengan etnisitas paling beragam di United Kingdom[1]. Pada tahun 2012, sebesar 43% penghuni London teridentifikasi sebagai kelompok BAME (Black, Asian, and minority ethnic groups)[2]. Perlu saya garis bawahi bahwa identifikasi diri sebagai etnis BAME tidak berarti mereka bukan British. Sebaliknya, hanya karena seseorang memiliki kulit putih, bukan berarti mereka adalah British. Populasi warga kulit putih di London, meskipun masih didominasi oleh White British, jumlah warga kulit putih Non-British juga signifikan[3]. Romania, Italia, Spanyol, Prancis, Bulgaria, Portugal, Polandia, Yunani dan Australia adalah 9 dari 10 negara asal migran yang tinggal di London pada tahun 2018-2019[4]. Sejarah perpindahan manusia di Inggris Raya tidak seluruhnya terjadi dengan sukarela, tapi juga banyak yang dilatarbelakangi keadaan terpaksa, semisal karena perang atau tuntutan pemerintah kolonial Inggris di masa lampau. Terlebih lagi, perpaduan ras dan budaya lumrah terjadi di London, sehingga pertanyaan ‘dari mana kamu berasal?’ menjadi sulit untuk dijawab dengan singkat oleh banyak orang.

Kompleksitas ras, budaya, dan etnis dari sebagian besar penghuni London membuat pertanyaan ‘where are you from?’ bukan hanya sulit untuk dijawab, tapi bahkan ofensif untuk sebagian orang. Pertanyaan tersebut bukan hanya menyangkut identitas personal yang rumit, tapi juga kerap kali didasari oleh asumsi bahwa lawan bicara kita ‘berbeda’ dengan pemahaman sempit kita mengenai siapa yang British dan siapa yang bukan. Banyak teman saya yang berasal dari kelompok BAME yang bercerita bahwa meskipun mereka lahir dan besar di London, mereka selalu mendapat pertanyaan ini. Seolah-olah mereka tidak dianggap sebagai British hanya karena warna kulit dan etnis mereka berbeda dari mayoritas warga lokal atau pemahaman bahwa warga Britania Raya hanyalah ras kaukasia. Terlebih lagi, banyak dari mereka yang mendapat ‘pujian’ karena dapat berbahasa Inggris dengan baik. Seolah-olah bahasa Inggris bukanlah native language mereka, dan si pemberi pujian tidak menyangka bahwa mereka bisa berbahasa Inggris sebaik itu. Lontaran-lontaran yang nampaknya ringan ini sejatinya menunjukkan kurangnya sensitivitas kultural dan rendahnya kepekaan terhadap perasaan lawan bicara kita.

 

Di London, bergaul dan berkerja sama dengan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda merupakan hal yang biasa - Sumber foto: Fauxels (Pexels)
Di London, bergaul dan berkerja sama dengan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda merupakan hal yang biasa – Sumber foto: Fauxels (Pexels)

 

Ketika saya sampai di London, saya harus belajar meninggalkan asumsi-asumsi yang selama ini saya miliki terkait etnisitas, ras, dan belonging seseorang. Hanya karena seseorang memiliki ras dan etnisitas yang berbeda dengan mayoritas, tidak berarti mereka bukan bagian dari bangsa tertentu. Saya juga berusaha untuk meninggalkan kebiasaan saya mengidentifikasi dan menyebut seseorang dari etnisitas, ras, atau negara asal mereka, Ketika berkomunikasi dengan orang lain. Menggunakan nama dan bagaimana saya mengenal mereka sudah lebih dari cukup ketika saya menceritakan mengenai teman-teman saya ke orang tua saya. Misalnya, alih-alih memperkenalkan si A orang dari negara B, saya menyebut mereka si A teman satu jurusan saya, atau si B kenalan saya dari organisasi C.

Menyebut orang lain atas dasar etnis, ras, atau negara asal mereka dapat menimbulkan prasangka dan stereotype kita pada kelompok-kelompok tersebut, tanpa kita sadari. Kebiasaan ini juga membuat kita mengonstruksikan mereka sebagai other; sebagai entitas lain yang lantas akan selalu berjarak dan berbeda dari kita – bukan sebagai sesama anggota dari komunitas yang sama. Sejujurnya, saya merasa malu baru menyadari pentingnya hal ini ketika saya berada di luar negeri dan menjadi minoritas. Padahal di Indonesia sendiri, saya bertemu dengan banyak orang dari berbagai etnisitas dan selama ini dengan mudahnya saya mengidentifikasi teman-teman saya berdasarkan asal etnis atau asal daerah mereka. Ketika menjadi minoritas, saya banyak introspeksi diri mengenai hal-hal yang kerap saya abaikan atau justru saya take for granted karena saya adalah bagian dari kelompok mayoritas di Indonesia.

Lalu sebagai mahasiswa internasional, bagaimana kita bisa menavigasi isu ini agar bisa memiliki percakapan yang mengalir dengan orang yang kita kenal? Jurnalis ABC[5] memberikan beberapa saran jika kita masih ingin mengajukan pertanyaan ini, antara lain: mengenal lawan bicara lebih jauh terlebih dahulu sebelum bertanya, menunggu sampai topik ini muncul dengan sendirinya, berhati-hati dalam pemilihan kata, dan segera move on jika pertanyaan tersebut tidak disambut dengan positif. Saya pribadi memilih tidak mengajukan pertanyaan ini dan menggunakan beberapa alternatif pertanyaan lain sebagai conversation starter jika saya bertemu dengan mahasiswa lain, semisal ‘what did you study for your first degree/undergrad? Whereabout?’; atau ‘why did you choose to study in this university/program?’. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan adalah pertanyaan pembuka yang bisa berlanjut ke diskusi-diskusi akademik yang menarik. Ketika saya menjadi sukarelawan di rumah sakit atau bekerja part-time, orang-orang yang saya temui umumnya bukan mahasiswa, sehingga yang sering saya tanyakan adalah ‘what do you usually do when you are not here?’, atau ‘where do you live? How long have you lived there?’.

Saya yakin teman-teman semua dapat menemukan conversation starter yang lebih menarik dan engaging daripada yang biasa saya lakukan. Apapun pertanyaannya nanti, saya berharap teman-teman bisa lebih peka terhadap bagaimana lawan bicara kita menerima kata-kata yang kita lontarkan.

 

[1]https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/culturalidentity/ethnicity/articles/ethnicityandnationalidentityinenglandandwales/2012-12-11

[2] https://data.london.gov.uk/

[3] https://data.london.gov.uk/dataset/ethnic-group-population-projections

[4] https://data.london.gov.uk/dataset/national-insurance-number-registrations-overseas-nationals-borough

[5] https://www.abc.net.au/everyday/where-are-you-really-from-how-to-better-ask-race-question/10610346

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here