Baby Blues, Student Parents, dan Daya Juang Fifi

0
2194

Melahirkan saat studi di luar negeri memang menjadi tantangan tersendiri. Student parents dituntut dapat membagi waktu antara studi, keluarga, dan beristirahat. Dalam artikel Indonesia Mengglobal “Anniversary Month” ini, kita akan menyimak kisah resiliensi Nurul Fitri Ramadhani, mahasiswa di University of Leicester, United Kingdom. Fifi menceritakan pengalamannya kepada Kolumnis Indonesia Mengglobal, Rio Tuasikal.

 

— Trigger warning: Sebagian artikel di bawah ini membahas pemikiran bunuh diri. Jika kamu butuh bantuan, mohon hubungi tenaga profesional —

 

Halo Fifi, sekarang lagi sibuk apa kuliahnya? 

Aku lagi kuliah Master in Global Media and Communication, University of Leicester. Sekarang lagi ngerjain disertasi nih lumayan lagi analisis, deadline submission aku 20 Agustus ini hahaha

 

Wah sebentar lagi dong? Ngomong-ngomong, boleh ceritakan sedikit latar belakangmu sebelum studi di UK? 

Aku lima tahun jadi jurnalis di The Jakarta Post, biasa meliput di DPR RI sehari-harinya. Tahun 2020 awal, aku pindah ke Amnesty International Indonesia, sebagai media officer, karena emang passion aku sih di isu-isu hak asasi manusia. Di Amnesty sebentar aja karena September 2020 aku berangkat sekolah, jadi aku harus resign.

 

Kamu kan kuliah dengan membawa serta anak dan suami, gimana pengalamannya?

Yes, walaupun sekolah cuma setahun aku mutusin untuk bawa keluarga. Sungguh sangat dilema waktu itu karna ribuan penolakan dari keluarga dan kerabat. Orang yang setuju aku ke UK bawa suami dan anakku cuma aku dan suami. Anakku saat itu baru 1, usia 1 tahun pas berangkat. Bahkan orangtua pun awalnya sama sekali nggak mendukung dan minta aku untuk berangkat sendiri.

Konsekuensi aku bawa keluarga, suamiku harus resign dari pekerjaannya. Karena saat itu nggak bisa unpaid leave. Gimana keluarga gak mencak-mencak sementara karirnya udah bagus dan di kantor ternama pula. 

WhatsApp Image 2021-08-12 at 14.27.20 (2)
Fifi bercerita, berbeda dengan di Indonesia, membesarkan anak di Indonesia harus serba mandiri tanpa pengasuh dan asisten rumah tangga. (Foto: Fifi)

Tapi suamiku nggak ragu untuk ikut nemenin aku dan anakku. Menurutnya, kerjaan dan uang bisa dicari, tapi waktu sama keluarga terutama masa emas anak nggak keulang dua kali. Apalagi kesempatanku dapat beasiswa Chevening adalah kesempatan emas sekali seumur hidup. Dan sungguh ternyata ini keputusan terbaik yang pernah aku dan suamiku ambil. Nggak kebayang gimana rasanya kalau nggak ada anak dan suamiku disini.

Memang ada plus minus-nya sih pasti. Hidup cuma bertiga di UK sungguh sangat beda dengan di Indonesia. Di Indonesia aku tinggal dekat ortu, jadi mereka suka datang bantu. Pun aku ada asisten rumah tangga dan nanny. Semua serba mudah. Di sini? Urusan domestik, anak, rumah, semuanya dikerjakan berdua aja.

Alhamdulillah sebulan setelah sampai di sini, suami langsung dapat kerjaan. Dan itu yang bikin aku seringkali harus sendirian di rumah, mengurus semuanya sendirian plus sambil kuliah. Alhamdulillah masih kuliah online semua, jadi aku bisa di rumah aja sambil ngurus anakku.

Benar-benar lah hidup di sini sama keluarga bikin mandiri banget.

 

Selain membawa anak pertama, baru-baru ini kan melahirkan juga, bagaimana proses persalinannya?

Betul. Tepat sebulan setelah sampe UK pun baru ketahuan aku hamil hahaha. This was unplanned dan unexpected, but I was happy to proceed. Aku tau semua konsekuensinya bahwa aku akan melahirkan di bulan Juni 2021 di masa-masa ngejar deadline disertasi haha. But I took all the risk to go on with the pregnancy.

Awal-awal hamil buset dah mual, lemes, lesu, ya selayaknya hormon kehamilan lah. Mana masih adaptasi sama makanan sini. Sementara nyium bau bawang aja muntah, semua makanan rasanya pahit. Mau masak males, nggak masak mahal beli makanan. Di situ aku kena homesick akut, pengen bangeeeet pulang. Padahal itu masih bulan November. Maunya dimasakin, maunya makanan Indonesia, yang di sini nggak ada. Plus, itu kan winter. Jadi, malam terus, jadi nggak bergairah gitu hidup. Aku nggak suka gelap dan malam. Aku nangis hampir tiap hari waktu itu.

 

Ya ampun. So sorry to hear that

Itu terjadi sampai kira-kira bulan Februari. Kondisi mentalku sudah mendingan. Karena mulai masuk spring ya, malam makin mundur kan. Terus suamiku beli kendaraan sehingga kita hampir tiap hari jalan-jalan keluar rumah bertigaan, itu benar-benar relaxing. Aku jadi makin konsenterasi ngerjain esai-esai kan.

Baca Juga: 3 Tips Menjaga Kesehatan Mental Saat Studi di Luar Negeri

Sampai pada hari aku melahirkan anak kedua, Juni 2021, setelahnya keseharianku berubah 180 derajat. Aku sudah expect aku akan tambah repot setelah lahiran. Tapi aku nggak expect akan sesulit ini. Aku sudah pengalaman punya bayi. But 1 newborn baby plus 1 toddler with me? That’s a whole different thing. Aku kena baby blues karena memang awal-awal lahiran itu berat. Masih begadang terus-terusan, puting lecet, plus ada anak pertama. Yang satu tidur, yang satu bangun, pun sebaliknya haha… Plus masih harus curi-curi waktu untuk kerjain disertasi.

Paling parah aku mulai kena postpartum depression (PPD) itu setelah suamiku selesai paternity leave. Bayi usia 3 minggu saat itu. Beneran ngerasa sendirian dan kerepotan. Sugesti hal-hal positif terus tiap hari, nggak mempan. Kebetulan anak pertama lagi tantrum, jadi sering rewel. Sering dua-duanya nangis berbarengan. Sampai aku lalu kabur ke kamar mandi, diem, nangis sendirian, mereka nangis di luar. Dua menit kalau sudah tenang, aku keluar. Baru deh handle mereka lagi.

Itu belum seberapa, aku pernah sampai mau bunuh diri. Ngerasa gagal semuanya karena anak-anakku kok rewel, kok nggak mau makan, kok disertasiku nggak kelar-kelar, kok pikiranku mentok? Aku beneran kepikir supaya bener-benar lepas semua beban. Ada dua kali mikir begitu. Memang pikiran itu terlintas kayak cuma lima menit, sambil nangis. Sadar dikit aku langsung telepon suamiku, dia langsung pulang dari kantor.

 

WhatsApp Image 2021-08-12 at 14.27.20 (1)
Menurut Fifi, kesehatan mental harus dibicarakan secara terbuka. Dia juga mendorong untuk tidak ragu mencari pertolongan profesional jika membutuhkan. (Foto: Fifi)

I am so sorry that you have been through that. It must be very hard for you 

Setelah itu aku sadar banget ini sudah nggak sehat. Akhirnya, aku hubungin layanan kesehatan nasional (NHS) untuk minta bantuan profesional. Jadi kan kalau setelah lahiran tuh ada community midwife yang rutin datang ke rumah 3 minggu sekali, untuk cek kondisi kita dan bayi. Nah, aku hubungi dia soal kondisi mentalku. Beberapa hari kemudian dia datang dan doing assessment on me, hasilnya level depresiku sudah tinggi. Lalu, dia daftarin ke mental health consultant gitu supaya aku bisa dikasih resep obat. Sejak itu, mereka concern banget sampai dokter umum (GP) juga agendakan beberapa appointment untuk aku menjalani mental health healing. Aku juga hubungin pihak wellbeing kampus dan mereka juga peduli. Mereka membujuk aku untuk ambil perpanjangan deadline disertasi supaya aku nggak keburu-buru ngerjainnya. 

 

Good to hear that you get the help that you need

Nah, itu pengalaman dari sisi buruknya sih hahaha… Ada juga kok sisi baiknya. Aku jadi dapat pengalaman merasakan layanan kesehatan di sini, which is 9.5/10 lah hahahaha… Semuanya gratis dan sangat profesional. Selama hamil kondisiku dipantau, dibikinin appointment untuk cek kandungan secara berkala. Dokter dan midwife di sini sangat ramah dan ngemong loh. Dokter pas visit aku di kamar rawat paska lahiran aja dia nanya dulu “Lagi sibuk nggak? Ganggu nggak?” Terus minta maaf kalo mengganggu. Sepanjang dilayani sama dokter-dokter di Indonesia mana ada tuh minta maaf? Terus, teknis operasi dijelasin dari A sampai Z, obat apa aja yang akan masuk di tubuhku semua dijabarin, kandungannya, efeknya, dosisnya. Terus cara mereka masang infus juga mereka jelasin dulu. At the end, mereka selalu nanya “Are you okay with that?”. Barulah aku merasakan pelayanan kesehatan di negara maju itu sebagus ini. Utamanya, semua gratis.

 

Kalau suami bagaimana perannya?

Peran suami itu ya sumpah penting banget. Aku rasa suamiku juga ikutan stres sih hahaha… Dia kerja 12 jam sehari, 4 hari dalam seminggu. Lelah banget itu fisik, di rumah masih bantu aku urus anak-anak, urus rumah, dan handle aku. This is not easy for him. Itulah kenapa tiap dia libur dia selalu ajak jalan, entah sekitaran Leicester atau ke luar kota, biar aku nggak stress di rumah terus. I am lucky having him. Tapi entah kenapa ya aku tetap ngerasa nggak cukup aja. Aku yang dulunya suka main keluar, ngopi-ngopi, kongkow-kongkow, ketemu temen-temen baru, berelasi. Sekarang stuck di rumah aja ngurusin anak, plus disertasi, bayangin betapa stresnya. Aku memang butuh temen aja, butuh keramaian sebenarnya.

Sampai baru-baru ini, aku minta suamiku resign. Pekerjaan sekarang kan full-time. Aku minta dia resign dan cari kerjaan part-time aja, supaya ada waktu lebih sama aku. Alhamdulillah banget dia setuju, dan setujunya itu sama sekali nggak ragu. Terus alhamdulillah sudah dapat juga pekerjaan part-time walau yang full-time belum resmi resign.

Menurutku, kita perlu support system yang mengerti bahwa perasaan kita valid. Bahwa rasa stresku bukan karena aku kurang bersyukur. Kedua, bantuan, every little help matters a lot. Aku minta bantuan suami urus anak dua-duanya, sementara aku me time ke taman. Nggak lama, dua jam cukup. Itu bener-bener wah banget, bisa bikin rileks. Ketiga, banyak teman sebanyak-banyaknya untuk ngobrol. Aku butuh keramaian, butuh banyak ngobrol dan networking supaya nggak diem-diem bengong di rumah hahaha

WhatsApp Image 2021-08-12 at 14.27.20
Fifi mengatakan sangat terbantu oleh sososk suami yang berbagi peran domestik dan dapat memvalidasi perasaan yang Fifi rasakan. (Foto: Fifi)

 

You have been through a lot. Do you have any messages to aspiring student parents?

Harus siap mental untuk lebih mandiri ya, sekolah sambil ngurus anak, apalagi dua is fun! But not easy! Tapi that’s how you will learn to be stronger sih menurutku. Kadang aku sugesti diri, ini cara Tuhan latih aku supaya lebih kuat, ngerjain ini-itu sendirian. Aku dan suami akan jadi lebih kuat, lebih bonding. When we return to indonesia later, we are all far different persons, dengan pemikiran yg akan sudah jauh lebih bijak. Percaya deh beneran. Ini yang juga dibilang para student parents yang lain. Kuliah ditemenin keluarga akan menjadi momen terbaik.

 

 

*Seluruh foto disediakan narasumber.

Nurul Fitri Ramadhani, biasa dipanggil Fifi, menempuh Master in Global Media and Communication di University of Leicester, UK, dengan dukungan penuh Beasiswa Chevening. Sebelumnya Fifi bekerja sebagai jurnalis bagi the Jakarta Post dan media officer Amnesty International Indonesia. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here