Taktik Wawancara untuk Memperoleh Beasiswa Fulbright pada Kesempatan Pertama

0
2743

Proses wawancara dalam sebuah seleksi beasiswa studi ke luar negeri merupakan suatu hal yang tidak mudah untuk ditaklukan. Dengan tingkat kompetisi yang tinggi, kegagalan sangat mungkin dialami oleh para pelamar. Namun, hal ini tidak terjadi pada Farid Al-Firdaus, salah satu grantee Fulbright tahun 2021. Dengan kegigihan dan kreativitas yang luar biasa, Farid berhasil melewati seleksi Beasiswa Fulbright pada kesempatan pertama. Simak siasat dan persiapan Farid menghadapi seleksi wawancara Beasiswa Fulbright di artikel berikut ini!

***

Namaku adalah Farid Al-Firdaus, tetapi orang lain biasa memanggilku Farid. Kata ibuku, nama Farid memiliki arti permata. Aku baru menyadari saat umurku 30 tahun bahwa hidupku tidak serta-merta bersinar layaknya permata yang perlu diasah berkali-kali. Hal tersebut terasa ketika aku menemukan minatku untuk studi ke Amerika Serikat pada tahun 2017. Alasannya sangat sederhana: aku menyukai segala kemajuan negara tersebut yang aku amati dari film-film Hollywood. Namun, rasanya tidak semudah itu berangkat studi dengan alasan yang sangat sederhana.

Selama tiga tahun, aku menggali semua hal tentang studi di Amerika Serikat seraya melanjutkan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Di tengah-tengah persiapan, aku mendapatkan informasi tentang beasiswa pemerintah Amerika Serikat, Fulbright. Jujur saja, ketika aku melihat informasi pada website Fulbright, aku merasa sangat tertantang. Selain karena ini adalah kesempatan beasiswa pertamaku, komite Fulbright mensyaratkan pengalaman leadership dan volunteering serta English Proficiency. Spontan aku bermonolog, “apakah aku bisa memenuhi seluruh requirement­ ini?”

Farid sedang berlatih membaca seraya ditemani ibu
Farid sedang berlatih membaca seraya ditemani ibu

Fulbright memiliki persyaratan English Proficiency berupa TOEFL ITP dengan nilai minimal 550. Maka langkah pertama yang aku lakukan adalah mengumpulkan informasi terkait TOEFL ITP, khususnya komposisi tes yang mencakup reading, listening, dan grammar. Aku berpikir bahwa dengan latihan rutin, aku dapat mencapai nilai minimal tersebut. Aku berlatih dengan menggunakan beberapa aplikasi Android di sela-sela waktu bekerja. Singkat cerita, aku akhirnya dapat melewati nilai minimal yang disyaratkan setelah tes yang keenam. Bagiku, tidak mudah untuk mendapatkan nilai yang memuaskan dalam sekali kesempatan.

Ujian tidak berhenti sampai di situ. Ketika aku dinyatakan lolos administrasi Fulbright, aku perlu menghadapi tahap wawancara. Tantangan yang aku hadapi tidak lagi tentang grammar, tetapi tentang speaking fluency. Aku seketika berpikir, sepertinya aku memerlukan teman untuk latihan berbicara. Puji Tuhan, senior dan temanku berkenan untuk menemaniku melakukan mock interview berkali-kali. Namun, aku sadar bahwa aku tidak dapat terus-menerus mengganggu jadwal mereka. Aku memerlukan tools yang fleksibel untuk berlatih speaking.

Aku menemukan bahwa fitur voice notes pada aplikasi WhatsApp cukup fleksibel untuk membantuku berlatih speaking. Awalnya, aku mencoba mengirim pertanyaan dalam Bahasa Inggris dengan suaraku kepada teman-temanku. Ternyata mereka sangat antusias, karena mereka dapat menjawab pesan suaraku kapan pun dan harus meresponnya dalam Bahasa Inggris, sembari mengevaluasi kemampuan speaking yang aku miliki.

Aku mendapatkan reward buku dan voucher TOEFL iBT dari atamerica, educationUSA
Farid mendapatkan reward buku dan voucher TOEFL iBT dari atamerica, educationUSA

Karena jumlah partnerku semakin banyak, bulan Mei 2020—masih dalam situasi pandemi COVID-19—aku meresmikan komunitas VOTES yang merupakan singkatan dari Voice Notes (Instagram: @votes.indonesia).  Selain membantuku dalam persiapan wawancara Fulbright, VOTES juga menjadi sarana latihan speaking untuk seluruh partner di komunitasi ini. Saat ini, sudah terdapat lebih dari 483 orang dari sembilan negara yang bergabung sebagai partner dalam komunitas VOTES. Hal tersebut dapat terjadi karena ketika seorang partner merasakan manfaat berlatih speaking melalui VOTES, dia menyebarkan ke circle-nya masing-masing. Bukan mereka saja yang merasakan manfaatnya, aku pun merasa menjadi sangat siap untuk menghadapi wawancara Bahasa Inggris pertamaku.

Pada hari-H wawancara, seorang moderator menghampiriku dan menjelaskan bahwa dalam perkenalan kepada panelis nanti, aku perlu menyampaikan informasi diri, study objective, dan alasan studi ke Amerika Serikat dalam tiga menit. Selain itu, beliau menyampaikan bahwa komposisi panelis akan terdiri dari dua Fulbrighter Indonesia, satu Fulbrighter Amerika Serikat, dan Direktur Komite Fulbright yang akan bergabung secara online. Keringat dingin sempat keluar, tapi ini adalah momen yang aku tunggu-tunggu.

Kegiatan speaking practice di dalam grup WhatsApp VOTES
Kegiatan speaking practice di dalam grup WhatsApp VOTES

Begitu memasuki ruangan, aku ingat tips untuk menunjukan first impression yang baik kepada interviewer. Spontan aku berkata, “Good morning everyone!” seraya tersenyum lebar. Mereka pun ikut tersenyum dan mempersilakanku duduk di kursi yang berhadapan dengan mereka—situasi yang serupa dengan ujian skripsi. Selanjutnya, moderator memintaku untuk memperkenalkan diri. Seketika aku ingat kembali tips dari seniorku untuk menunjukkan uniqueness yang disertai fakta. Dengan terstruktur, aku menyampaikan bahwa aku telah bekerja mengumpulkan data dan informasi mengenai perpajakan serta sudah melakukan kontak dengan salah satu profesor di Amerika Serikat, dan saat ini sedang menjalankan sebuah program volunteering dengan komunitas VOTES yang memiliki partner mencapai lebih dari 100 orang.

Setelah perkenalan, satu per satu panelis menggali ­study objective yang aku tulis. Pertama, tim Fulbrighter Indonesia menanyakan gambaran dan tantangan pekerjaan sehari-hari. Saat itu, aku menggunakan metode Situation-Action-Result untuk menjawabnya. Selain itu, menurut referensi yang aku baca, setiap orang senang mendengarkan cerita. Jadi, aku sampaikan mulai dari pihak yang terlibat dalam pekerjaanku, informasi waktu dan tempat, bagaimana ­proses yang aku lalui, dan ditutup dengan output dan outcome yang aku capai sebagai result. Mereka sesekali menyondongkan badan ke depan dan mengangguk untuk menunjukkan interest.

Selanjutnya, seorang Fulbrighter Amerika Serikat bertanya, “How do you balance your study life in the U.S.?” Aku tanggapi segera pertanyaannya dengan, “That is an interesting question!” dan menceritakan bahwa aku suka berlari dan ingin mengikuti marathon event di sana. Tidak hanya menjawab, aku pun menyampaikan candaan bahwa event yang aku ingin ikuti adalah U.S. Marine Corps Marathon dan mungkin aku dapat mengalahkan tentara-tentara itu. Para panelis tertawa lepas dan suasana wawancara pun semakin mencair.

Profil akun Instagram VOTES
Profil akun Instagram VOTES

Pada klimaks wawancaraku, Direktur Komite Fulbright menanyakan hal yang sederhana tapi sangat fundamental. Beliau bertanya tentang alasan orang-orang tidak mau membayar pajak. Untuk menjawabnya, aku menggunakan teknik equality agar dapat memahami situasi dengan baik. Jika ditranslasi ke dalam Bahasa Indonesia, kira-kira jawabanku seperti ini, “Pak, semua orang cukup berat untuk membayar pajak. Mungkin Bapak, saya, dan masyarakat di luar sana memiliki kebutuhan harian seperti untuk makan, menyekolahkan anak, membeli rumah, dan sebagainya.” Setelah menyetarakan pandangan, aku lanjutkan jawabanku dengan dengan mengatakan bahwa otoritas pajak perlu lebih kreatif dalam mensosialisasikan kebijakan perpajakan agar dapat lebih diterima oleh seluruh orang. Beliau pun tersenyum dalam screen seraya mencatat sesuatu.

Pada tanggal 8 September 2020, aku berhasil dinyatakan lulus wawancara Fulbright dan menjadi salah satu Principal Candidate bersama sekitar 25 hingga 50 orang lainnya dari sekitar 1000 pendaftar. Komite Fulbright mengirimkan Submission Plan kepadaku di mana aku direkomendasikan untuk mengambil studi International Development Policy dengan spesialisasi International Taxation di Duke University. Kampus ini tidak pernah ada dalam rencanaku, tetapi komite beranggapan bahwa program studi tersebut sangat berkaitan dengan latar belakangku di bidang perpajakan. Sebagai catatan, rekomendasi ini juga disertai beberapa pilihan kampus lainnya. Selain kesesuaian dengan latar belakang applicant, ketersediaan grant untuk membiayai tuition fee serta living cost masing-masing kampus juga menjadi pertimbangan komite dalam memberikan rekomendasi tersebut.

Screenshot email penetapan principal candidacy Beasiswa Fulbright 2020
Screenshot email penetapan principal candidacy Beasiswa Fulbright 2021

Aku mengakui “American Dream” bukan mimpi yang biasa, tetapi aku akan buktikan, orang biasa sepertiku dapat meraihnya dalam sekali kesempatan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here