Setahun Menulis untuk Indonesia Mengglobal: Sebuah Catatan Pamit bagi Calon Diaspora Selanjutnya

0
1518

Artikel terakhir untuk wilayah Asia/Timur Tengah/Afrika Indonesia Mengglobal 2020/2021, ditulis oleh Kolumnis Alvin Qobulsyah, membahas serba-serbi perjalanannya hingga menempuh studi di Negeri Ginseng. Sebuah artikel menarik, yang mengajak para pembaca untuk menggali lebih dalam apa yang diinginkan sebelum menempuh studi lanjut. Selamat membaca!

***


 

Akhirnya sampai di kolom ke-12 yang adalah kolom terakhir saya sebagai kolumnis reguler Indonesia Mengglobal untuk wilayah Afrika, Asia, dan Timur Tengah pada tahun 2020-2021.

Saat saya mengajukan kesediaan untuk terlibat di Indonesia Mengglobal, saya utamanya tengah beraktivitas sebagai Bapak Rumah Tangga penuh waktu yang menemani istri studi doktoral di Korea.

Dua bulan berselang saya memulai peran baru sebagai mahasiswa magister di Seoul National University, lalu empat bulan kemudian juga turut dapat kesempatan kembali ke ruang berita sebagai penyiar di KBS World Radio Bahasa Indonesia.

Selama setahun terakhir menulis saya memfokuskan diri untuk menulis seputar kesempatan berkuliah di Korea Selatan, tentang apa kelebihan dan keuntungannya, serta tantangan yang mungkin akan dihadapi apabila kesampaian melanjutkan hidup di Semenanjung Korea.

Fasade depan SNU Graduate School of International Studies, tempat kini saya melanjutkan studi.
Fasad depan SNU Graduate School of International Studies, tempat kini saya melanjutkan studi.

Pada rentang dua belas bulan ini juga, berbagai pertanyaan masuk ke kanal pribadi saya tentang berbagai hal trivial seputar melanjutkan studi atau bekerja di Korea.

Jawaban untuk beberapa pertanyaan sudah saya arahkan untuk membaca dulu rangkaian kolom saya di Indonesia Mengglobal, dan sejauh ini cukup membantu sebagai awal informasi untuk selanjutnya menyelami informasi lebih dalam.

Tapi tetap ada beberapa pertanyaan yang benar-benar menggelitik dan bagi saya mungkin konsekuensi dari beralihnya sumber informasi pengalaman dari blog ke vlog.

Tak sulit untuk mencari berbagai informasi berkuliah atau bekerja di Korea dari kanal berbagi konten foto video semisal Youtube atau Instagram Live (yang kemudian disimpan dalam bentuk Instagram TV).

Tapi masalahnya bagi saya dimulai dari sana, karena di sanalah mulai ada asumsi bahwa semua informasi akan hadir dalam video sekian menit dan semua pertanyaan akan terjawab via kolom komentar dengan jawaban yang kadang tetap harus diverifikasi lagi.

Tulisan ini bermaksud untuk mengajak kembali para calon diaspora selanjutnya (khususnya yang ingin melanjutkan studi di luar negeri) untuk kembali memutar balik ke mana pertama mencari informasi. Berikut adalah beberapa pertanyaan menggelitik yang akan saya bagi dan sekaligus coba saya jawab lewat pengalaman saya.

Mewawancarai Duta Besar RI untuk Korsel di Siaran Akhir Tahun KBS World Radio.
Mewawancarai Duta Besar RI untuk Korsel di Siaran Akhir Tahun KBS World Radio.

“Kak, saya dahulu kuliah di jurusan A, sekarang saya mau kuliah di Korea, saya kuliah apa ya?”

Ini pertanyaan yang cukup sering ditanyakan. Jawabannya: saya tidak bisa menjawab. Pertama, jelas saya tidak tahu pengalaman akademik yang bertanya seperti apa. Lalu ini ibarat kita diminta menentukan masa depan orang lain, padahal kita tak saling mengenal dan belum jelas garis konsekuensinya. Tapi ada beberapa refleksi yang bisa dipikirkan ulang untuk bertanya pada diri sendiri.

Semisal, pertanyaan paling dasar kenapa harus lanjut sekolah? Kenapa lanjut sekolahnya harus ke luar negeri? Apakah memang tidak ada lanjutan ilmunya di Indonesia? Mau pendidikan riset atau profesional?

Setiap ada pertanyaan ini, saya selalu meminta penanya untuk coba gali informasi lebih dalam dari informasi resmi. Bisa mulai dari mencari daftar kampus di negara yang diminati dan memiliki jurusan yang linear dengan saat sarjana. Kalaupun tidak ada, bisa juga membuka ruang kemungkinan di jurusan-jurusan interdisipliner.

Setelah itu, silakan buka daftar mata kuliah di jurusan-jurusan tersebut, apakah sesuai kebutuhan dan minat di rencana awal melanjutkan sekolah.

Jadi cari informasinya dibalik. Pertama, cari daftar kampusnya yang diminati dulu. Setelah itu, baru gali pengalaman mahasiswa-mahasiswa yang sudah pernah kuliah di jurusan dan kampus yang kita minati.

Terpilih menjadi salah satu partisipan terbaik dalam European Model Union 2020 di Korea Selatan.
Terpilih menjadi salah satu partisipan terbaik dalam Model European Union 2020 di Korea Selatan.

“Kak, kampus yang rankingnya paling bagus di Korea apa ya?”

Ini pertanyaan yang sebenarnya cukup arbitrer bagi saya sejak awal, apalagi di masa kini saat reputasi universitas benar-benar amat dilihat dari reputasi dan prestise negara asal mahasiswa.

Bagi saya, memilih universitas hanya dari segi ranking juga bisa menjadi jebakan. Pertama, kalau ranking yang dilihat hanya ranking secara umum terkadang itu juga bukan jadi keutamaan bagi kita.

Semisal kampus A ranking 1 di negara A, tapi jurusan yang kita minati di kampus itu ternyata bukan jurusan yang punya reputasi. Tapi demi reputasi dan prestise kita tetap memilih di kampus A itu.

Lalu, bagaimana alternatif perspektif melihat ranking universitas dalam memilih kampus itu? Sekali lagi, dibalik cara mencarinya. Pertama, cari jurusan yang kita minati. Bisa dilihat dari para profesornya, mata kuliahnya, reputasi akademik dan profesionalnya, sampai testimonial para alumninya.

Saat sudah punya jurusan yang kita minati, barulah kita cek ranking universitasnya. Bagi saya pribadi, ranking ini amat membantu dalam melihat seberapa baik infrastruktur kampus (semisal fasilitas, perpustakaan dan aksesnya, asrama) dan suprastruktur kampus (semisal bantuan karier, ekstrakurikuler kampus, layanan konseling, layanan khusus mahasiswa asing) untuk mendukung studi dan kehidupan kemahasiswaan kita kelak.

Mengikuti Global Youth Climate Challenges 2020 yang dipimpin Sekjen PBB ke-8 Ban Ki-moon.
Mengikuti Global Youth Climate Challenges 2020 yang dipimpin Sekjen PBB ke-8 Ban Ki-moon.

“Kak, nanti kuliah di sana ada ujian di dalam kelas gak ya?”

Ini salah satu pertanyaan yang pada awalnya buat saya amat bingung sama sekali.

Pertama, jelas kita tak pernah tahu akan ada tugas atau ujian macam apa yang akan diberikan oleh profesor saat nanti tengah berkuliah.

Kedua, kalau memang mau siap-siap, kita juga bisa lihat silabus berbagai mata kuliah yang sudah dijalankan pada semester-semester sebelumnya.

Ketiga, kalau ada kekhawatiran soal kemampuan bahasa nanti tentu akan ada berbagai fasilitas pengayaan yang disediakan oleh kampus terkait adaptasi bahasa, utamanya untuk keperluan akademik.

Keempat, tentunya ini adalah maksud berbagai tes kemampuan bahasa di awal pendaftaran kuliah. Jadi, perjuangan memperbaiki kemampuan bahasa asing tentunya tidak berubah di awal kuliah.

Senja di gerbang depan Seoul National University
Senja di gerbang depan Seoul National University.

Sebagai penutup, saya mau berbagi bagaimana dahulu saya menjalani petualangan mencari pendidikan dan beasiswa di luar negeri. Saya mungkin termasuk para veteran pencari beasiswa yang juga jatuh bangun dahulu mencari kesempatan.

Pertama, kita sudah harus tahu bidang studi/riset/profesi apa yang ingin kita kejar atau butuhkan hingga memerlukan studi lanjutan di luar negeri. Sejak awal mulai mencari sekolah dan beasiswa, saya selalu menggunakan study/research plan yang sama. Secara akademik, fokus bidang studi saya adalah studi migrasi, utamanya migrasi pekerja dan migrasi transnasional. Secara profesional, saya sudah menjalani karier sebagai jurnalis kurang lebih tujuh tahun. Jadi rencana riset dan studi saya selalu menjurus pada dua fokus akademik dan profesional ini.

Kedua, sumber informasi utama adalah website universitas atau institusi promosi pendidikan di negara terkait. Situs universitas dapat mengirimkan prospectus saat kita minta, atau kita juga bisa menggali di situs terkait tentang opsi-opsi program studi yang dapat kita pilih. Setelah kita sudah dapatkan informasi utama dan tentunya terverifikasi, barulah kita bisa menggali pengalaman via vlog atau blog dari mahasiswa yang sudah lebih dahulu studi semisal yang ada di Indonesia Mengglobal selama ini.

Ketiga, saya tidak berkarier di dunia akademik atau riset, melainkan di jurnalistik. Tetapi dalam setiap aplikasi akademik pasti dibutuhkan referensi dari salah satu dosen saat kita sarjana dahulu. Saya selalu menjaga relasi dengan dosen-dosen yang dahulu memang dekat secara personal atau secara akademik. Lalu dari tangan mereka lah rekomendasi dan referensi yang jujur dan intim dapat didapatkan, karena kita tidak hanya dekat dengan para beliau saat butuh saja, tapi dijaga dalam sebuah relasi yang baik.

Keempat, saya bukan mahasiswa yang lahir dengan silver spoon dengan berbagai kesempatan untuk dapat memiliki kemampuan bahasa Inggris dengan mahir sejak muda atau kecil. Saya juga tak pernah mengikuti les Bahasa Inggris formal, dan hanya belajar Bahasa Inggris dari mata pelajaran di sekolah. Lalu untuk mematangkan kemampuan, tak ada cara lain selain belajar secara otodidak, apalagi menjalani persiapan semua tes bahasa dalam status masih bekerja dan juga sudah berkeluarga. Jalannya adalah selalu sediakan waktu setiap hari untuk belajar bahasa asing, apalagi untuk menulis.

Kelima, ada pemeo yang mengatakan cari beasiswa itu biasanya harus gagal sekian kali dulu sampai rezekinya datang atau memang waktunya yang tepat. Saya pun demikian, dan bersyukur memang saya akhirnya dapat studi di waktu yang tepat tanpa ada yang harus dikorbankan termasuk karier dan keluarga. Sejak 2013 setidaknya saya sudah dapat 6 (enam) Letter of Acceptance di University of Nottingham (Inggris), Aligarh Muslim University (India), Lund University (Swedia), Aarhus University-Swansea University (Denmark-Inggris, Program Erasmus Mundus), Victoria University of Wellington (Selandia Baru), dan akhirnya Seoul National University (Korea Selatan) di mana saya dapat melanjutkan studi, sekitar tujuh tahun sejak pertama kali mulai mencari peluang sekolah di luar negeri.

Foto terakhir di NET., stasiun televisi dimana saya berkarier sebagai jurnalis dan produser berita sebelum melanjutkan studi.
Foto terakhir di NET., stasiun televisi di mana saya berkarier sebagai jurnalis dan produser berita sebelum melanjutkan studi.

Terakhir sekali bagi para calon diaspora dan pejuang beasiswa, di tengah godaan berbagai informasi instan dan prematur, tetap percaya pada jalan sumber resmi dan terverifikasi ya. Berbagai testimoni tentu dapat jadi sumber inspirasi dan mimpi-mimpi, tapi itu semua tentu tak bergaransi dan berikan asuransi.

Selain itu, perjalanan menjadi diaspora tentu bukan hanya soal kisah bahagia jalan-jalan melihat dunia di luar Indonesia, tapi juga banyak kisah pahit dan perjuangan yang banyaknya disimpan. Padahal bagi saya, hal-hal inilah yang seharusnya diutamakan.

Sampai di kampus idaman itu satu hal pencapaian, tapi bertahan hidup dan membawa nama baik Indonesia dalam prosesnya itu lain soal. Selamat berjuang untuk menjadi bagian dari Indonesia yang mengglobal dan tidak terbawa arus kehilangan identitas dalam perjalanannya.

*Semua foto berasal dari penulis.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here