Memoar Perjalanan Haji Pelajar Asal Indonesia dari Selandia Baru (Bag 1)

Labbaik! O Allah, here I come

0
3153
Sesaat setelah Nurul dan suami melaksanakan jamarat terakhir (sunnah haji selesai) 12 Dzulhijjah 1439 H

Begitu banyak umat muslim di dunia, termasuk Indonesia, yang mendambakan untuk “dipanggil” melaksanakan Rukun Islam yang ke-5, yaitu menunaikan ibadah haji. Kontributor Indonesia Mengglobal, Nurul Kasyfita Church, akan menjelaskan langkah-langkah bagaimana perjalanan ini diizinkan Allah untuknya dan suaminya, bukan dari Indonesia melainkan dari Selandia baru ketika ia sedang menyelesaikan studi S3 di University of Auckland. Ia akan bercerita bagaimana panggilan Allah ini ia rasakan, lika-liku administrasi, permohonan izin kepada pembibing dan atasan, dan berbagai hal penting lainnya. Yuk, mari kita simak!

***

Labbaik

Seorang teman kerja dari Pakistan bertanya apa saya sudah naik haji. Saya bilang belum, lalu ia berkata “Make dua, ask Him to call you”. Saya pun berdoa, di akhir 2017, tetapi hanya berani doa sekali saja he he karena saya berupaya realistis, wong saya saja masih koboy begini, lalu uang dari mana untuk membayar perjalanan tersebut, belum lagi saya kan masih studi S3 maka tentunya tidak akan mudah untuk pergi haji begitu saja. Ternyata hanya sekali doa minta dipanggil naik haji pun sudah cukup bagi Allah, hingga pada pertengahan tahun 2018 saya bisa naik haji meskipun dengan posisi tabungan kembang kempis.

Penelusuran agen perjalanan haji di Auckland

Awal tahun 2018, saya mulai mencari agen perjalanan haji di Auckland, Selandia Baru, di internet. Hanya ada 3 (tiga) saja hasil pencarian tersebut. Pertama, saya menghubungi agen perjalanan haji yang paling besar, yaitu Labbaik. Tetapi mereka menolak saya karena visa pelajar yang saya miliki tidak bisa melamar visa haji. Saya pun menghubungi agen perjalanan berikutnya, yaitu Al-Marwah, tetapi saya tidak meletakkan harapan besar karena setelah mendengar penolakan Labbaik saya menjadi patah semangat dan berpikir “Baiklah, mungkin belum diberi jalan oleh Allah.” Namun, sekitar bulan Mei 2018, Al-Marwah menanyakan apakah saya dan suami masih berminat naik haji 2018 lalu meminta kami untuk segera memasukkan aplikasi dan mereka pun menyebutkan dapat membantu saya untuk mendapatkan visa haji. Hari itu sungguh sangat luar biasa, saya dan suami langsung mengirimkan aplikasi kami dan mencermati syarat syarat yang ada. Meskipun saat itu masih belum ada uangnya he he, tapi ya kirim saja. Saya pikir, jika Allah memanggil, maka ini akan terjadi. Tawakkal.

Berapa ya biaya yang harus dikeluarkan?

Biaya perjalanan haji kami berdua selama 25 hari dikenakan biaya NZ$ 10.560 (sekitar Rp 103 juta). Tidak ada daftar tunggu, langsung berangkat. Itu pun kuota dari Arab Saudi untuk Selandia Baru tidak pernah terisi penuh. Saya dan suami memutuskan untuk ikut 20 hari saja dikarenakan ada tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan di Auckland. Kami pun harus membayar biaya tambahan tiket pesawat, sehingga total biaya yang harus kami bayarkan adalah NZ$ 11.150. Kami pun bisa melunasi biaya tersebut di akhir bulan Mei 2018. Subhanallah, ada saja jalan Allah memberikan kami rezeki meskipun saat itu kami hanya bekerja ‘lepasan’ dan suami saya hanya seorang guru pengganti. Dicukupkan-Nya untuk kami. Alhamdulillah.

Dokumen yang harus dipersiapkan

Dokumen yang disiapkan cukup ringkas seperti fotokopi paspor dan visa pelajar saya, surat enrollment dari University of Auckland, surat nikah saya dan suami dari Internal Affair New Zealand. Jika pun kita belum melunasi pembayaran, selama aplikasi haji dan seluruh syarat administrasi sudah dilengkapi untuk melamar visa haji maka agen tetap akan melakukan pengurusan. Selain dokumen tersebut di atas, kami juga diminta melampirkan surat dari masjid yang menyatakan bahwa kami benar-benar muslim. Saat itu, cukup sulit bagi kami mengurus surat dari masjid karena suami saya bule dan kami tinggal di kota sehingga jarang berkumpul di masjid dan hampir tidak punya teman dan/atau imam yang bisa merekomendasikan kami. Alhamdulillah, penghulu yang dulu menikahkan kami berkenan membantu proses ini dan akhirnya kami tidak sekedar mendapatkan surat dari masjid tetapi langsung dari New Zealand Muslim Association. Lagi-lagi Allah yang punya kuasa.

Meminta izin dari atasan dan pembimbing

Sebelum Al-Marwah menghubungi kami, saya baru saja menandatangani kontrak kerja karena saya tidak mengira akan bisa berangkat haji di tahun ini. Saat itu saya baru bekerja seminggu dan sudah meminta izin kepada manajer saya untuk pergi menjalani ibadah haji selama 20 hari (13 hari kerja). Subhanallah, saya diizinkan mengambil 10 hari cuti tahunan saya, dan 3 hari sisanya digantikan dengan bekerja di hari lainnya. Langkah berikutnya adalah meminta izin kepada kedua pembimbing studi S3 saya. Saya mengirimkan email kepada kedua pembimbing memohon untuk pertemuan mendadak untuk membahas izin perkuliahan demi melaksanakan perjalanan haji. Percayalah, saat itu saya menutup kedua mata saya karena saya takut melihat respon keduanya ketika mendengar mahasiswi bimbingannya ingin pergi haji, perjalanan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan studi. “I want to go…”, kata saya hari itu, “…for a hajj, Makkah, Saudi Arabia”. Maha kuasa Allah, tanpa perlu berdiskusi panjang mereka langsung mengizinkan saya ” GO! GET YOUR HAJJ, NURUL.” Ya Allah, saat itu air mata saya menetes dan langsung membalas mereka dengan “Thank you”. Mereka bahkan memeluk saya, “This is for your spiritual satisfaction. Go for it”. Izin fakultas tidak diperlukan karena saya pergi hanya kurang dari sebulan, dan selama pembimbing menyetujui maka sudah cukup.

Mengikuti kelas haji

Nurul dan suami setelah mengikuti kelas haji ke-4
Nurul dan suami setelah mengikuti kelas haji ke-4

Ada 7 (tujuh) kelas haji yang harus kami hadiri setiap hari Minggu dari pukul 1 siang hingga 4 sore. Jujur saja, kelas haji ini cukup menyita waktu belajar saya. Saya bekerja di universitas setiap hari, lalu saat akhir pekan saya masih harus mengikuti kelas haji. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen yang besar untuk bisa menjalani berbagai persiapan ini. Kelas haji ini dikenal dengan istilah ‘manasik’ kalau di Indonesia. Materinya sama, meliputi tata cara haji dan umrah, cara bersuci, dan hal-hal teknis selama berhaji. Baru pada kelas ke-5 kami mendapatkan informasi kalau visa haji sudah disetujui, termasuk visa haji saya meskipun hanya menggunakan visa pelajar. Saya menangis lagi hari itu karena saya akan melakukan perjalanan dari ujung dunia, dan seluruh keluarga saya hanya bisa melihat dari internet saja. Tetapi, beginilah panggilan Allah, dan semua sudah dibukakan jalan oleh-Nya.

Pada kelas terakhir kami diberi daftar barang bawaan seperti krim sunblock, popok dewasa (percayalah toilet di Mina itu antrinya luar biasa), dan topi lebar untuk digunakan ketika lontar jumrah agar tidak repot buka-tutup payung saat berjalan menuju jamarat. Oiya, ternyata kami adalah pasangan terunik. Suami saya adalah satu-satunya penduduk asli Selandia Baru di rombongan haji tersebut dan saya, istrinya, berasal dari Indonesia. Peserta haji lainnya berasal dari India, Fiji, Pakistan, dan para pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap Selandia Baru dan Fiji.

***

NB: Bagian 1 artikel ini berfokus pada pengalaman Nurul dalam fase persiapan, yaitu ketika ia mendapatkan panggilan dari Allah untuk menjalankan ibadah haji dan lika-liku persiapan yang ia dan suaminya lakukan. Nurul akan menulis bagian 2 artikel ini untuk menjelaskan lebih rinci pengalamannya ketika menjalani perjalanan haji dan setelah ia dan suami menyelesaikan perjalanan tersebut lalu kembali ke Selandia Baru.

***

Sumber foto: Nurul Kasyfita Church

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here