Belajar Membangun Daerah “Rural” di Eropa

1
3413
Garfagna, rural area in Toscany, Italy.

Ketika pertama kali saya memberitahukan keinginan saya kepada keluarga dan teman-teman untuk belajar di Eropa, mereka semua mendukung saya. Dan ketika saya bilang saya ingin belajar Rural Development, mereka lantas bertanya “kok belajar Rural Development di Eropa sih? Negara-negara di Eropa kan negara maju. Memang ada daerah rural-nya?”.

Jawabannya tentu saja ada. Bahkan 91% area di negara-negara Uni Eropa digolongkan sebagai daerah rural. Tapi ya daerah ruralnya memang sudah maju. Untuk itulah saya ke Eropa dan belajar bagaimana mereka bisa membangun daerah ruralnya menjadi sangat maju. Bahkan daerah rural di Eropa menjadi salah satu sektor penting perekonomian, melalui pertanian, peternakan, dan pariwisata. Maka jangan heran kalau hidup di daerah pedesaan di Eropa cukup menyenangkan, masih ada anak mudanya, dan para petani adalah salah satu kelompok terkaya di Eropa yang berdampak pada kekuatan politik kelompok tersebut.

Universitas-universitas di Eropa banyak yang menawarkan program master Rural Development. Saya sendiri belajar bidang ini melalui program Erasmus Mundus yang disebut International Master of Science in Rural Development (IMRD). Selama dua tahun masa belajar, kita bisa memilih tiga sampai empat universitas dari enam belas universitas yang bergabung dalam program ini. Enam di antaranya adalah universitas di Eropa, yaitu Ghent University di Belgia yang bertindak sebagai coordinator and home university, Humboldt University of Berlin di Jerman, Nitra Agricultural University di Slovakia, Wageningen University di Belanda, Agrocampus Ouest Rennes di Prancis, dan Pisa University di Italia. Sementara sepuluh universitas sisanya adalah universitas-universitas di luar Eropa: Ecuador, Afrika Selatan, India, Vietnam, China, dan Korea Selatan. Jadi menariknya, walaupun program ini program Erasmus Mundus dari Uni Eropa, kita juga diberikan kesempatan untuk pergi ke luar Eropa untuk memahami pembangunan daerah rural di negara tersebut.

Proses pendaftaran dan seleksi program IMRD tidak jauh berbeda dengan pendaftaran program master lainnya. Pengumuman diterima atau tidaknya sendiri ada tiga kategori. Yang pertama, ada kemungkinan kita diterima dalam program IMRD dan menerima beasiswa Erasmus Mundus, yang kedua kita bisa diterima dalam program IMRD namun tidak mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus, dan yang terakhir kita tidak diterima kedua-duanya, baik program maupun beasiswanya. Saya sendiri masuk dalam kategori kedua. Saya diterima dalam program IMRD namun tidak mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus. Jadi jika kita tidak berhasil mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus, bukan berarti kita tidak bisa bergabung dalam programnya. Kita masih diberikan kesempatan untuk mencari sumber dana lain. Di kelas saya sendiri 75% mahasiswanya bukanlah penerima beasiswa Erasmus Mundus, kami mendapatkan beasiswa dari sponsor lain.

Pengalaman saya belajar dalam program IMRD sangat menarik. Yang paling saya suka adalah saya bisa menyusun sendiri kurikulum dan mata kuliah yang saya ambil untuk menentukan kedepannya saya ingin menjadi rural developer yang seperti apa dan ahli dalam bidang apa. Misalnya jika saya ingin membangun daerah tertinggal melalui kebijakan pemerintahnya, saya akan belajar di Nitra University. Jika saya ingin mengembangkan melalui sosiologi pedesaan saya akan belajar di Wageningen University. Jika saya ingin mengembangkan melalui sektor pariwisata dan kualitas pangan, saya akan belajar di Pisa University. Jika saya ingin mengembangkan daerah tertinggal melalui sustainable agriculture production, saya akan pergi ke Agrocampus Ouest Rennes. Menurut saya ini kesempatan yang sangat baik untuk bisa menyerap ilmu terbaik dari masing-masing universitas dengan menyusun “path” kita sendiri selama studi dua tahun. Jadi sangat mungkin setelah lulus dari program ini, para almumninya memiliki pendekatan yang berbeda dalam membangun daerah tertinggal. Hal ini membuat diskusi dalam kelas menjadi sangat menarik dan memang kita harus akui bahwa masalah daerah tertinggal harus dikerjakan bersama melalui segala dimensi.

Hal menarik lainnya adalah tentu saja pengalaman kita tinggal di tiga atau empat negara yang berbeda, dengan budaya dan gaya hidup yang berbeda. Walaupun kelihatannya negara-negara di Eropa itu mirip-mirip, tapi kalau kita lihat lebih dekat ternyata banyak sekali perbedaannya. Misalnya, hidup di Italia secara umum lebih santai dan sangat mungkin untuk mendapatkan banyak teman, karena sifat orangnya yang hangat dan terbuka. Sementara di Belgia, secara umum orang-orangnya lebih tertutup dan mengutamakan kualitas pertemanan daripada kuantitas. Jadi ketika kita punya teman orang Belgia, maka mereka akan sangat setia dengan hubungan tersebut dan akan sangat dekat dengan kita. Pengalaman ini sangat baik karena membuat kita belajar untuk memahami orang-orang yang memiliki gaya hidup yang berbeda dengan kita.

Tapi tentu saja ada tidak enaknya juga dengan sistem perkuliahan yang pindah-pindah seperti ini. Saya sendiri belum pernah merasakan homesick selama tinggal di Eropa. Saya selalu berusaha secepatnya membuat negara-negara yang saya kunjungi berasa seperti rumah. Namun ketika kita sudah menghabiskan cukup waktu dan mulai feeling home di negara tersebut, kita sudah harus pindah ke negara lain. Pindah ke negara lain artinya meninggalkan teman-teman yang lama, beradaptasi lagi, berusaha mengenal jalan-jalan baru dan sistem transportasi yang berbeda, dan berusaha mengetahui dimana mendapatkan ini dan itu di kota yang baru.

Selain itu, selama saya tinggal disini saya semakin menyadari bahwa sebaiknya kita bisa berbahasa lain selain Bahasa Inggris. Mahasiswa Eropa banyak sekali yang bisa bicara lebih dari dua bahasa. Di Belgia misalnya, sangat umum orang-orang disana bisa berbahasa Inggris, Prancis, dan Belanda, dan mampu memahami bahasa Jerman. Atau pada daerah tertentu, Bahasa Inggris tidak selalu menjadi bahasa yang umum digunakan. Misalnya di Jerman dan Prancis, akan sangat membantu jika kita bisa berbicara bahasa mereka. Hal ini berbeda dengan misalnya Belanda, di mana bahasa Inggris sangat umum digunakan. Saya sendiri punya teman orang Italia, yang bisa berbahasa Italia, Portugis, Romania, dan Hungaria. Salah satu teman saya yang lain mampu berbahasa Jerman, Prancis, dan Spanyol. Namun kedua-duanya tidak bisa berbicara Bahasa Inggris. Sangat berbeda dengan orang Indonesia yang jika ingin belajar bahasa kedua, maka umumnya kita akan belajar Bahasa Inggris. Kendala bahasa juga menjadi tantangan selanjutnya ketika kelas yang ditawarkan bukan dalam bahasa Inggris. Pilihan kelas yang bisa kita ambil jadi sangat terbatas.

Untuk akademik sendiri, setiap kampus dan negara memiliki kalendar akademik dan sistem pendidikan yang berbeda. Jadi terkadang kita butuh waktu untuk memahami sistem perkuliahan di negara tersebut. Belum lagi kalendar akademik yang berbeda terkadang membuat kita sudah harus pindah ke negara lain, padahal di negara sebelumnya kelasnya belum selesai.

Namun tantangan tersebut membuat saya menjadi lebih termotivasi. Saya jadi lebih giat untuk belajar bahasa dan saya jadi lebih cepat untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Dan yang paling penting adalah pengalaman seru belajar di tiga sampai empat negara dalam satu program studi.

 

Photo Credit: Daniel Chrisendo

1 KOMENTAR

  1. Selamat siang mas Daniel Chrisendo.
    Perkenalkan saya Nashran asal Aceh Singkil.
    saya lulusan Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia Bogor tahun 2014 jurusan Bisnis dan Manajemen Islam.

    kemarin saya membaca sebuah artikel hasil tulisan mas Daniel di web indonesiamengglobal.com. saya sangat bersyukur bisa menemukan artikel tersebut.

    rencananya tahun ini saya akan apply beasiswa LPDP melalui jalur Afirmasi karena Aceh Singkil (asal saya) adalah salah satu daerah tertinggal di Indonesia.
    saya berniat dan bertekad untuk kembali dan berkontribusi ke daerah asal saya.
    jadi untuk program master saya nanti rencananya saya akan mengambil jurusan Sustainable Rural Development.
    targetnya adalah setelah saya menyelesaikan master saya dapat berkarir menjadi seorang konsultan yang bergerak dibidang pengembangan ekonomi dan SDM di daerah tertinggal.

    terkait hal tersebut, ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan dan mohon kesediaan mas Daniel untuk membimbing dan memberikan arahan.

    saya akan menunggu konfirmasi dari mas Daniel.
    Terimakasih

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here