Mengajar Mata Kuliah Bahasa Indonesia di Stanford University

1
4656

Indonesia Mengglobal melakukan wawancara dengan Ibu Sita Nurmasitah, pengajar mata kuliah Bahasa Indonesia di Stanford University untuk tahun ajaran 2014-2015. Program pengajaran yang dilakukan Ibu Sita dimungkinkan oleh program beasiswa FLTA (Fulbright Foreign Language Teaching Assistant). Terima kasih Bu Sita atas kesediannya untuk diwawancara kami. Berikut adalah hasil wawancara kami dengan Ibu Sita tentang program FLTA dan pengalamannya mengajar bahasa Indonesia di Stanford University:

IM (Indonesia Mengglobal):  Bagaimana Ibu Sita tahu tentang program Fullbright ini? Tolong dijelaskan tentang program Fulbright yang Ibu Sita jalani sekarang.

IS (Ibu Sita): Saya mengetahui program  Fulbright ini dari presentasi yang diadakan oleh AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation) atau Fulbright Indonesia di universitas tempat saya bekerja di Semarang. Kemudian dari presentasi tersebut, saya mendapatkan banyak sekali informasi mengenai program-program yang ada dan disediakan oleh Fulbright untuk belajar ke Amerika. Selain itu, saya juga mendapatkan informasi tentang bagaimana cara mengirimkan aplikasi, persyaratan apa yang dibutuhkan, proses seleksi, dan apa yang harus dilakukan selama program berlangsung. Dari beberapa program yang ada, saya tertarik dengan program FLTA – Fulbright Foreign Language (Bahasa Indonesia) Teaching Assistant. Saya tertarik dengan program ini karena penerima beasiswa program ini selama 9 bulan akan mengajarkan Bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa dan selain itu juga memperkenalkan budaya Indonesia di universitas-universitas terkemuka di Amerika. Selain mengajar, penerima beasiswa ini juga diberi kesempatan untuk mengambil paling sedikit dua mata kuliah secara credit maupun audit (tergantung host institution). Ada dua mata kuliah yang wajib diambil, yaitu American Studies dan Teaching Methodology. Persyaratan utama untuk mengikuti program ini adalah usia tidak lebih dari 30 tahun dan merupakan pengajar bahasa Inggris di Indonesia (guru maupun dosen).

 IM: Bagaimana proses pendaftarannya?

IS: Proses untuk mendapatkan beasiswa ini cukup panjang dan lama, kurang lebih satu tahun. Proses pendaftarannya diawali dengan pengiriman berkas aplikasi, diantaranya ada formulir yang telah diisi, recommendation letter, ijazah, sertifikat TOEFL, dsb. Setelah lolos seleksi pada tahap pertama (seleksi berkas),  pihak AMINEF akan memberikan undangan seleksi wawancara yang bertempat di kantor AMINEF Jakarta. Pada saat itu, ada 3 pewawancara, yang menanyakan tentang background pendidikan, pengalaman kerja, dan juga pengetahuan mengenai bagaimana mengajar. Setelah beberapa bulan melakukan seleksi wawancara, saya mendapatkan kabar bahwa saya lolos seleksi tahap wawancara dan harus mengikuti tes TOEFL IBT. Setelah itu, beberapa bulan kemudian, saya mendapat email bahwa saya harus melengkapi lagi berkas-berkas dan juga diminta untuk me-ranking 5 universitas di Amerika yang akan menerima pengajar Bahasa Indonesia, diantaranya ada Stanford University. Disitu dikatakan bahwa tahap tersebut bukan jaminan sudah diterima, namun masih harus menunggu keputusan dari pihak Amerika (IIE – Institute of International Education). Dan pada akhirnya, tepat setahun dari awal proses pendaftaran, saya mendapatkan email dari IIE dan AMINEF bahwa saya diterima untuk mengajar di Stanford University. Namun, masih ada satu tahap lagi yang harus saya lewati, yaitu medical check-up. Jika dinyatakan sehat dan dalam keadaan baik, maka sudah pasti akan berangkat ke Amerika.

IM: Persiapan apa yang diberikan di Indonesia dan Amerika sebelum dan selama program ini?

IS: Sebelum keberangkatan ke Amerika, kami mengikuti PDO (Pre-Departure Orientation). Dalam PDO tersebut kami mendapatkan banyak bekal sebelum berangkat ke Amerika. Diantaranya adalah; sesi sharing dengan Indonesian Fulbright alumni, penjelasan mengenai Fulbright grants benefits, penjelasan mengenai visa, dan lain-lain. Khusus untuk program FLTA, kami mendapat sesi khusus mengenai pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing. Kami mendapatkan informasi tentang bagaimana cara mengajar yang baik, media belajar apa yang bisa kami gunakan, dan bagaimana mengajar dengan kreatif. Selain itu, juga ada sesi sharing dengan alumni FLTA terdahulu. Dari sesi sharing tersebut, Kami mendapatkan banyak sekali informasi mengenai situasi dan keadaan yang akan kami hadapi selama 10 bulan nanti di Amerika.

Sebelum mengajar di host institution, para penerima beasiswa FLTA harus mengikuti orientasi ketika sampai di Amerika. Ada beberapa universitas yang menjadi host untuk orientasi. Kebetulan saya juga mendapat tempat orientasi di Stanford University. Di orientasi tersebut, saya bertemu dengan sekitar 80 FLTA dari Negara lain. Pengalaman ini sungguh luar biasa, bertemu dengan pengajar-pengajar bahasa Inggris dari seluruh dunia, sehingga dapat bertukar cerita dan pengalaman serta budaya yang mereka miliki. Di orientasi tersebut, kami dibekali bagaimana umumnya kehidupan di Amerika dan juga diperkenalkan mengenai seperti apa universitas di Amerika, bagaimana pengajarannya, mahasiswanya, dan tata tertib yang berlaku. Selain itu, kami juga dibekali dasar-dasar mengajar. Walaupun kami adalah pengajar bahasa Inggris di Negara masing-masing, namun tidak semua pernah mengajar bahasa native (asli) kami. Selain itu, kami yang mengikuti orientasi di Stanford University, diberi kesempatan untuk mengunjungi Golden Gate di San Francisco.

Mengajar Mata Kuliah Bahasa Indonesia di Stanford University
Mengunjungi Golden Gate Bridge di San Fransisco.

Di bulan Desember, seluruh FLTA di Amerika mengikuti mid-year conference. Pada saat itu bertempat di Washington, DC. Waktu tersebut adalah saatnya temu kangen dengan teman-teman lain setelah bertugas selama separuh perjalanan. Conference tersebut sangat luar biasa. Sekitar 400an FLTA berkumpul dalam suatu acara, bertukar cerita dan pengalaman. Ada banyak sesi yang harus kami ikuti dan seluruhnya sangat berguna bagi kami. Selain itu juga ada cultural show, dimana beberapa wakil Negara menampilkan budaya mereka. Yang menarik bagi saya adalah sesi presentasi dari beberapa FLTA, menceritakan tentang pengalaman mereka maupun teknik mengajar yang mereka gunakan selama mengajar. Dari sesi tersebut, saya mendapatkan banyak ide baru yang dapat saya gunakan untuk mengajar di Stanford.

Mengajar Mata Kuliah Bahasa Indonesia di Stanford University
Kami ber-10 dari Indonesia sewaktu conference.

 IM: Tolong ceritakan sedikit tentang kegiatan atau rutinitas Anda sehari-hari selama di Stanford.

IS: Saya merasa beruntung sekali mendapat kesempatan mengajar dan belajar di Stanford. Di Stanford, saya berada di bawah Special Language Program (SPECLANG). SPECLANG program merupakan kumpulan dari beberapa bahasa yang disebut dengan less commonly taught language,  karena memang Bahasa Indonesia di Amerika masih jarang sekali diajarkan. Kebetulan pada tahun ini, ada 3 FLTA di Stanford University, yaitu saya dari Indonesia, kemudian ada dua teman dari Filipina dan Bangladesh. Sehari-hari saya mengajar kelas Bahasa Indonesia, dan juga mengambil beberapa mata kuliah. Selain itu, saya juga harus mempersiapkan silabus, lesson plan, materi belajar, dan media belajar untuk diajarkan. Sebetulnya sudah pernah ada kelas Bahasa Indonesia di Stanford, namun berhenti cukup lama, terakhir pada tahun 2005. Maka dari itu, saya harus mulai dari awal lagi untuk mempersiapkan kelas Bahasa Indonesia ini.  Hal yang paling menantang adalah, bagaimana cara menarik minat mahasiswa untuk mengambil kelas Bahasa Indonesia. Tidak banyak orang tahu di mana dan seperti apa Indonesia. Pada awal datang ke Stanford, saya harus menyebarkan informasi melalui poster dan email tentang dibukanya kelas Bahasa Indonesia. Selain mengajar dan belajar, saya juga mengadakan malam budaya atau cultural night disetiap quarter. Mahasiswa yang mengikuti kelas Bahasa Indonesia harus ikut perpartisipasi dalam acara tersebut.

 IM: Apa pengalaman paling berkesan yang Bu Sita alami selama mengajar Bahasa Indonesia di Stanford?

IS: Selama mengajar Bahasa Indonesia di Stanford, banyak sekali hal yang berkesan. Di sini saya belajar banyak hal. Yang paling berkesan adalah cara pengajaran di Stanford. Pada quarter pertama, saya mengikuti kelas bahasa Jepang, dengan maksud saya bisa mempelajari bagaimana cara mengajar bahasa untuk mahasiswa di Stanford. Dan kemudian saya menemukan bahwa mahasiswa di sini sangat cepat sekali dalam menangkap materi yang diajarkan. Para pengajar di sini juga mengajar dengan sangat cepat. Rata-rata kelas bahasa di sini adalah 5 unit, yang berarti 5 jam dalam seminggu. Dengan lama waktu belajar tersebut, tidak heran jika setelah mengikuti kelas selama 1 tahun, mahasiswa sudah lancar bicara dengan bahasa target. Begitu juga dengan mahasiswa yang mengikuti kelas Bahasa Indonesia, mereka cepat sekali belajar. Fasilitas serta teknologi untuk belajar dan mengajar juga sangat baik. Saya belajar banyak menggunakan teknologi di sini, dan saya berharap saya dapat menggunakannya disaat saya pulang ke Indonesia nanti. Hal yang paling membuat saya heran adalah ketika ada quiz atau ujian. Di Indonesia, pada saat siswa sedang mengerjakan ujian, sudah pasti guru atau dosen akan berjaga di dalam kelas dengan maksud agar tidak akan ada siswa yang mencontek. Guru atau dosen tersebut akan pasang mata dan bersiaga sepenuhnya kalau-kalau ada siswa yang berbuat curang. Namun di siini, pengajar harus keluar ruangan, mempercayakan siswa di dalam kelas bekerja dengan kemampuan mereka sendiri-sendiri tanpa berbuat curang. Hal ini dikarenakan adanya Honor Code, segala bentuk kecurangan pasti akan ada sanksinya.

 IM: Kelas apa saja yang Anda ajarkan, dan kira-kira seperti apa sih profil murid-muridnya?

IS: Saya mengajar kelas Bahasa Indonesia untuk beginner, intermediate dan advance. Ada 6 orang mahasiswa yang mengajar kelas Bahasa Indonesia. Ada 3 mahasiswa graduate dan 3 mahasiswa undergraduate. Beberapa dari mereka ada yang orangtuanya dari Indonesia, namun sudah lama menetap di Amerika, dan menjadi warga Negara Amerika. Mereka ingin sekali belajar bahasa Indonesia yang merupakan bahasa asli orangtua mereka. Namun ada juga yang orang asli Amerika, dia sudah pernah pergi ke Indonesia dan tinggal beberapa bulan di sana. Dia merasa jatuh cinta pada Indonesia sehingga ingin belajar bahasa dan budayanya. Untuk kelas bahasa Indonesia, saya tidak hanya mengajarkan bahasa, namun juga memperkenalkan budaya. Saya juga seringkali mencontohkan suatu hal dengan kehidupan dan kebiasaan sehari-hari orang Indonesia, karena kehidupan orang Indonesia dan Amerika cukup berbeda, terutama pada segi adat istiadat. Saya sering memperlihatkan video-video mengenai Indonesia, mereka sangat senang dan menikmatinya. Selain itu, saya juga memperkenalkan makanan-makanan Indonesia. Di Amerika saya rasa sudah ada beberapa restaurant Indonesia, namun belum begitu banyak. Kadang-kadang saya juga memasak dan membawa makanan Indonesia untuk mereka.

IM: Sudah berapa lama Ibu Sita berada di Amerika? Hal-hal apakah saja yang paling mengejutkan dan berkesan?

IS: Saya sudah 7 bulan tinggal di Amerika. Saya senang sekali mendapat tempat di San Fransisco yang cuacanya tidak beda jauh dengan di Indonesia. Sehingga pada musim dingin pun tidak ada salju, hanya cuaca yang cukup dingin. Pada saat sebelum berangkat ke Amerika, saya berpikir dan agak sedikit takut bahwa saya akan menemui orang-orang Amerika yang stereotype nya mungkin seperti di film-film yang sering kita tonton, yaitu keras, tidak ramah, dan tidak peduli dengan orang sekitar (cuek). Namun apa yang saya temui di sini sangat berbeda, orang-orang disini sangatlah ramah dan baik sekali, selalu menawarkan bantuan sebelum saya memintanya. Saya sempat khawatir dengan bagaimana perlakuan mereka terhadap wanita berjilbab seperti saya. Dan yang saya alami di sini adalah perlakuan yang menyenangkan, mereka memiliki toleransi yang tinggi. Sepertinya sudah menjadi hal yang wajar bagi mereka melihat wanita muslim berjilbab. Namun pastinya banyak hal-hal yang sangat berbeda jauh dengan apa yang kita temui di Indonesia, tapi itu pastinya karena perbedaan budaya yang pasti kita temui.

Dari program ini ada dapat disimpulkan bahwa, kami para FLTA tidak hanya datang sebagai pengajar dan pelajar. Namun juga menjadi duta dari Negara kami. Kami membawa nama baik Negara dan juga budaya-budaya unik yang bisa kami perkenalkan kepada para mahasiswa di Amerika, selain dari bahasa yang kami ajarkan. Ada kalanya, kami harus meluruskan pandangan-pandangan miring mengenai Indonesia, yang mungkin hanya mereka dapatkan dari media televisi atau koran.  Sebagian besar dari mahasiswa saya juga seringkali penasaran dan menanyakan bagaimana sebetulnya kehidupan di Indonesia, dan dengan senang hati saya jawab serta tunjukkan bagaimana Indonesia itu.

IM: Terima kasih Bu Sita atas waktu dan kesediannya diwawancara kami!

 

Foto dari koleksi pribadi.


BAGIKAN
Berita sebelumyaWinning A Prestigious International Award while Studying Abroad
Berita berikutnyaProgram Mentorship Indonesia Mengglobal 2015: Ayo Daftar!
Sita Nurmasitah is a Fulbright FLTA (Foreign Language Teaching Assistant) Grantee 2014-2015. She is currently teaching Bahasa Indonesia at Stanford University, California. She earned her bachelor degree in English Literature from Universitas Negeri Semarang (UNNES) in 2007 and her master degree in Applied Linguistics from Universitas Diponegoro in 2010. In Indonesia, she teaches English for engineering faculty students and also gives Bahasa Indonesia course for foreign students at Universitas Negeri Semarang (UNNES). She loves traveling, painting, and listening music.

1 KOMENTAR

  1. Salam … Ibu Sita … Bolehkah saya dapat Alamat Email ibu untuk bisa sharing banyak tentang Beasiswa mengajar Bahasa Indonesia di US. Ketertarikan saya sebenarnya sudah lama. cuma saya butuh sekali sharing dengan orang yang sudah merasakan dan menjalani program ini …

    Terimakasih atas kesediannya .

    Salam

    Siti Aminah Bte Muhammad (nengami.1983@gmail.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here