Mencari Keseimbangan antara S3 di Luar Negeri dan Aktivisme Sosial untuk Masyarakat Indonesia

0
2897
Ahmad Junaidi di Monash University library. Sumber: Dokumentasi pribadi
Ahmad Junaidi di Monash University library. Sumber: Dokumentasi pribadi

Banyak asumsi yang beredar seputar mahasiswa S3, terutama yang menempuhnya di luar negeri, bahwa mereka bak menutup diri di ‘menara gading’. Namun, Ahmad Junaidi yang tengah menempuh studi PhD in Education di Monash University, Australia, berpendapat bahwa memberikan dampak sosial bagi Indonesia dari jauh pun dapat dilakukan selama studi sehingga keduanya terlaksana dengan seimbang. Simak wawancara Lavinia Disa, columnist Indonesia Mengglobal, dengan Ahmad Junaidi di artikel ini.

***

Ketika pertama kali memulai S3, proses adaptasi seperti apa yang Anda alami?

Saya berangkat dengan kekhawatiran dan antisipasi bahwa S3 adalah sesuatu yang berat, sepi, dan melelahkan. Bayangan ini terbentuk semenjak kuliah S2 di University of Adelaide dan sering satu forum dengan para mahasiswa S3. Untuk mempersiapkan diri menuju studi S3, saya memilih untuk membaca kembali teori-teori dasar pendidikan, psikologi perkembangan, dan filsafat dialektika materialis yang menjadi dasar dari framework yang saya pakai.

Yang jelas, menentukan visi tentang studi di awal itu sangat penting. Bagi saya visi adalah energi. Misalnya, kita bisa menentukan apakah akan menjadikan doktoral sebagai langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar atau akan dilewati begitu saja sebagai trofi yang sudah dimenangkan. Visi ini yang akan memberikan arah tentang seberapa banyak energi yang kita akan investasikan dalam studi S3. Kalau saya sendiri, saya ingin mencari keseimbangan antara “menyelam di kedalaman” dan “terbang dari ketinggian”.

Ahmad Junaidi di Simposium Relawan bersama Butet Manurung di Universitas Mataram. Sumber: Dokumentasi pribadi
Ahmad Junaidi di Simposium Relawan bersama Butet Manurung di Universitas Mataram. Sumber: Dokumentasi pribadi

Boleh dielaborasi apa yang dimaksud dengan keseimbangan tersebut?

Saya percaya bahwa salah satu tugas para calon doktor, terutama di bidang sosial humaniora, adalah memantik motivasi dan inspirasi agar banyak orang mau bergerak sebagai social engineers. Tidak hanya memimpin upaya perubahan, mereka juga hendaknya mengajak orang lain untuk memulai perubahan-perubahan. Oleh karena itu, saya tetap berusaha membagi waktu antara tugas akademik sebagai penggali ilmu dan juga sebagai pegiat di bidang yang saya geluti, yaitu pendidikan dan gerakan literasi.

Dalam kacamata saya, pemerintah tak mungkin bisa bergerak sendiri karena permasalahan pendidikan kita begitu kompleks. Maka, pendidikan di level komunitas terutama untuk pemuda, remaja, dan anak harus digalakkan. Sekolah mempunyai tugas dan peran yang paling besar, dan pendidikan alternatif menawarkan pengalaman yang memperkuat itu. Kita punya tantangan untuk mencerdaskan bangsa, dan calon doktor, sebagai manusia yang sedang menuju ke fase tercerdaskan, juga harus mau bergerilya turun. Intinya adalah praksis, ketika teori diterjemahkan menjadi aksi, dan aksi memunculkan teori-teori.

Contoh riilnya ialah sembari menempuh S3, mengikuti kegiatan akademik seperti konferensi, dan bekerja paruh waktu sebagai kitchen hand, saya berupaya menjalankan aktivisme sosial di bidang pendidikan. Di antaranya adalah galang dana hingga 700 juta Rupiah untuk korban gempa Lombok melalui kampanye media sosial, mengelola Jage Kastare Foundation dari Melbourne, memberikan pelatihan dengan topik kerelawanan dan pencarian beasiswa, hingga menulis artikel-artikel tentang isu pendidikan di Indonesia di media nasional.

Simposium Relawan Pendidikan dengan Butet Manurung. Sumber: Dokumentasi pribadi
Simposium Relawan Pendidikan dengan Butet Manurung. Sumber: Dokumentasi pribadi

Memang ‘harga’ yang harus saya bayar untuk mencapai keseimbangan itu adalah kurangnya kehidupan sosial di kampus dan tidak adanya waktu untuk berjalan-jalan. Tapi buat saya tidak masalah. Apalagi Melbourne berkali-kali menerapkan lockdown selama pandemi ini.

Terkait pembimbing, mereka biasanya adalah orang-orang yang sibuk dan punya mahasiswa bimbingan lain. Bagaimana Anda berupaya untuk mengoptimalkan waktu bersama beliau?

Pembimbingan di Monash University adalah pembimbingan akademik terbaik dan paling ideal yang pernah saya peroleh. Saya memiliki dua pembimbing yang sangat mendukung penelitian saya tapi juga menantang. Setiap target dokumen yang harus saya kumpulkan sudah seperti akan melalui proses seleksi publikasi jurnal ilmiah. Ada kualitas tertentu yang pembimbing inginkan untuk saya capai. Proses bimbingan pun selalu intens. Saya pernah meminta izin untuk tidak bertemu dan diberikan balikan secara tertulis saja. Ternyata mereka menolak dan ingin bertemu langsung dalam meeting.

Konflik dengan pembimbing yang pernah saya alami adalah ketika saya ingin melakukan hal lain yang saya anggap penting, misalnya, ikut konferensi dengan topik di luar disertasi. Sebelum mengikuti kegiatan seperti itu, saya akan meminta izin kepada pembimbing. Mereka memang tidak melarang tapi juga tidak antusias dalam memberikan dukungan. Saya memandang ini sebagai pesan tersirat kalau saya sebaiknya menggunakan energi dengan efektif. Meski demikian, karena visi pribadi soal keseimbangan, saya kadang tetap pergi meski restu dari pembimbing turunnya hanya setengah-setengah.

Ahmad Junaidi saat menjadi Best Speaker di International Graduate Research Symposium, Hanoi, Vietnam. Sumber: IGRS 2019
Ahmad Junaidi saat menjadi Best Speaker di International Graduate Research Symposium, Hanoi, Vietnam. Sumber: IGRS 2019

Banyak yang bilang S3 adalah perjalanan akademik yang sepi dan sendiri. Apakah Anda merasa demikian?

Karena saya banyak berkegiatan dengan menulis dan berinteraksi daring, kesepian itu tidak terlalu terasa. Di kampus, saya berteman dengan beberapa mahasiswa saja secara pribadi. Dengan yang lain saya hanya berinteraksi dalam satu kepanitiaan atau acara lain walaupun di tahun pertama saya sangat aktif mengikuti banyak kegiatan.

Saya juga tinggal dengan sebuah keluarga yang ramai dan menyenangkan, jadi saya punya teman yang cukup. Saya pun jarang bepergian, kecuali untuk menghadiri konser yang benar-benar ingin saya tuju. Tapi itu pun sebelum pandemi.

Menjadi panitia di salah satu konferensi di Faculty of Education, Monash University. Sumber: Dokumentasi pribadi
Menjadi panitia di salah satu konferensi di Faculty of Education, Monash University. Sumber: Dokumentasi pribadi

Selama menempuh studi doktoral, tantangan apa yang terberat di setiap tahunnya dan bagaimana Anda mengatasinya?

Tantangan tahun pertama adalah menentukan apakah kerangka teori sudah cukup mantap untuk saya gunakan dalam membedah jawaban pertanyaan riset. Untuk mengatasinya, saya menginisiasi diskusi-diskusi teoritis di Social Researchers Forum dan juga sebuah kelompok kecil bernama Feynman Technique. Kami membahas konsep abstrak dengan penjelasan sederhana sebagai sarana latihan berpikir.

Tantangan tahun kedua adalah pengumpulan data. Saya bersukur sempat mengumpulkan data sebelum pandemi, dan bukan ini masalah utamanya. Bagi saya, yang menantang adalah membanjirnya data yang saya dapatkan. Solusinya adalah dengan tidak tamak memasukkan semuanya tapi mengidentifikasi poin-poin yang sesuai dan bisa dielaborasi.

Di tahun ketiga, saya berjuang keras membagi waktu antara bekerja paruh waktu, berkegiatan secara daring dalam beberapa proyek sosial di Indonesia, dan juga mengerjakan tesis. Untunglah semua terselesaikan dengan prinsip “do what feels good first”. Saya banyak mengandalkan mood untuk pekerjaan mana yang lebih dulu datang dan mana yang tenggatnya mendesak.

Confirmation of Candidature. Sumber: Dokumentasi pribadi
Confirmation of Candidature. Sumber: Dokumentasi pribadi

Berkaca pada situasi pandemi saat ini, mungkin ada calon-calon mahasiswa PhD yang akan memulai studi mereka di tengah masa ‘new normal‘. Pesan apa yang bisa Anda bagikan untuk mereka?

Info tentang ini sebetulnya berserakan di dunia maya. Namun, secara kolektif, saya kira kita harus lebih fokus pada apa yang bisa kita berikan paska pandemi. Kita telah mengalami banyak kemunduran, dan studi S3 seharusnya bukan hanya menambah jumlah doktor di Indonesia tetapi juga membentuk pasukan pembangun Indonesia untuk bangkit.

Secara individu, saya ingin menggarisbawahi risiko “menyelam terlalu dalam” saat menggali tentang topik S3. Banyak yang lupa melihat sebuah isu dari cakupan yang lebih luas. Harus dicari titik keseimbangan antara menyelam di kedalaman ilmu yang spesifik dan perkembangan-perkembangan terkini dan umum dari bidang kita. Jangan sampai ketika kembali ke Indonesia, gelar S3 kita malah menjadi kontraproduktif karena kita tidak tahu perkembangan terkini di tanah air. Jadi, koneksi kita dengan Indonesia harus selalu dijalin dan dipupuk agar kita benar-benar menjadi cendekia yang bermanfaat.

***

Profil Ahmad Junaidi: Lahir di Desa Ungga, Lombok Tengah dengan masa kecil yang bahagia di awal tahun 90an, Ahmad Junaidi mengabdi sebagai dosen di FKIP Universitas Mataram, Lombok. Seusai mendapatkan gelar Master’s dari the University of Adelaide di tahun 2013, beliau aktif mengelola Jage Kastare Foundation (JKF), sebuah pusat pembelajaran pemuda yang digerakkan oleh sukarelawan yang bekerja di bidang pendidikan, nutrisi dan kewirausahaan sosial di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 2015, beliau mendapatkan Community Solutions Program (CSP) Fellowship. Beliau pernah magang untuk Chicago Youth Center selama empat bulan serta berkecimpung bersama remaja Afrika-Amerika di beberapa wilayah.

Saat ini beliau menempuh PhD di Faculty of Education di Monash University dan diperkirakan akan lulus pada tahun 2022 dengan pendanaan dari Australia Awards Scholarship. Penelitiannya berkisar pendidikan untuk calon guru Bahasa Inggris, khususnya bagaimana guru menggunakan teori-teori ilmiah di dalam kelas dengan pendekatan psikologi perkembangan kognisi dari pemikir-pemikir Uni Soviet untuk menelurkan prinsip-prinsip pendidikan guru Bahasa Inggris sesuai tantangan kritis abad 21.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here