From A Candidate to A Grantee: Akhir Penantian Beasiswa Fulbright

0
2873
The American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF) adalah komisi bilateral Fulbright untuk Indonesia

Menjadi grantee beasiswa Fulbright ternyata bukanlah perjalanan yang singkat. Setidaknya itulah yang dirasakan langsung oleh Widya Kusumaningrum, seorang ibu sekaligus dosen Bahasa Inggris di Universitas Tidar, yang merupakan salah satu grantee beasiswa Fulbright untuk jenjang pendidikan doktoral tahun 2021. Dalam artikel ini, Widya bercerita tentang dinamika yang harus Ia lalui setelah ditetapkan sebagai salah satu principal candidate, yang ternyata sangat menguras tenaga dan emosi sebelum akhirnya Ia berhasil mengamankan satu tempat sebagai grantee beasiswa yang diselenggarakan atas dukungan pemerintah Amerika Serikat ini.

Disclaimer: Artikel ini murni menceritakan pengalaman yang dilalui oleh penulis selama menjalani seleksi beasiswa Fulbright tahun 2020 – 2021, sehingga tidak mewakili pandangan dari Fulbright maupun AMINEF selaku penyelenggara seleksi beasiswa Fulbright di Indonesia.

***

Banyak yang mengatakan bahwa perjalanan terberat dari pencarian beasiswa untuk studi ke luar negeri adalah pada awal proses aplikasi, tapi bagiku proses tersebut tidak semelelahkan setelah aku dinyatakan sebagai seorang principal candidate dari beasiswa Fulbright. Tentu saja ucapan selamat dan pertanyaan kapan berangkat bagiku seperti dua sisi mata uang, di tengah ketidakpastian apakah aku akan menjadi grantee beasiswa ini nantinya. Meski bukan serangan mental yang pertama, tapi dengan title baru itu, aku merasa proses ini baru setengah jalan. Banyak cerita dari para grantees sebelumnya seperti ada yang pada akhirnya tidak mendapatkan letter of acceptance (LoA) dari kampus pilihan, tuition fee yang melebihi dana yang disediakan oleh Fulbright, hingga ketidakpastian study tahun ke-4 dan ke-5 karena funding untuk PhD dari Fulbright hanya tiga tahun. Sungguh hal ini telah merenggut senyumku.

September berlalu, dan seperti biasa, Oktober aku jalani dengan begitu melelahkan. Bagi yang seprofesi denganku pasti tahu bahwa setiap akhir tahun banyak deadline yang harus dipenuhi. Mungkin hal ini terkesan berlebihan, tetapi menjalani profesi dosen di Indonesia dengan tridharma perguruan tinggi yang dianut bagiku bukanlah hal yang mudah. Aku harus mengampu 16 SKS, memenuhi tagihan luaran penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta menjadi seorang ibu dari seorang batita di masa pandemi Covid-19 tanpa asisten rumah tangga. Tentu saja menjalani peran sebagai working mom yang tetap ingin mewujudkan cita-cita dan harapannya pada masa pandemi ini bukanlah hal yang mudah.

Potret seorang working mother di sebuah Masjid tempat Ia mengabdi
Potret seorang working mother di sebuah Masjid tempat Ia mengabdi

Di tengah hiruk-pikuk bulan Oktober, aku bersyukur AMINEF mulai memberi aba – aba untuk mengisi submission plan dan mencocokkannya dengan arahan Institute of International Education (IIE). Bagiku, memilih sebuah universitas tidak melulu tentang peringkat world university ranking, tetapi lebih kepada profil profesor, course yang ditawarkan, laboratorium, dan research community.

Misi pencarianpun dimulai. Aku mulai menelusuri orang – orang yang kompeten di bidang applied linguistics terutama di bidang language testing and assessment. Dari situ, aku kerucutkan beberapa nama dan mulai mencari tahu lebih lanjut mengenai afiliasi program studi mereka. Jujur, tidak mudah memilih lima kampus yang menawarkan program di bidang applied linguistics. Kadang, aku harus berpikir ulang untuk memilih antara profesor dan course yang ditawarkan. Di Northern Arizona University, misalnya, aku menemukan profesor yang sangat cocok dengan peminatan risetku, namun Iowa State University of Science and Technology menawarkan course yang lebih menarik bagiku.

Persoalan berikutnya adalah memilih urutan. Urutan ini sangat penting bagi IIE dalam proses negosiasi ke kampus. Dalam proses ini, aku membuat semacam prioritas kriteria pemilihan dalam submission plan yang aku ajukan, yakni (1) course yang ditawarkan; (2) kapasitas dan kesesuaian profesor; (3) research community; dan (4) laboratorium. Finally, dari lima universitas yang aku usulkan, empat universitas disetujui: Iowa State University, Michigan State University, Georgia State University, dan Northern Arizona University. Hanya satu universitas yang diganti, yaitu Columbia University yang diganti menjadi University of Iowa.

Institute of International Education (IIE) berperan dalam proses pemilihan universitas pada seleksi beasiswa Fulbright
Institute of International Education (IIE) berperan dalam proses pemilihan universitas pada seleksi beasiswa Fulbright

Pada bulan November dan Desember 2020, perjalanan beasiswaku terus berproses. Tibalah waktunya mencicipi TOEFL iBT dan GRE—dua jenis tes yang baru bagiku. Perasaan harap – harap cemas menunggu hasil kedua tes itu senantiasa muncul tiap kali aku membuka email dan Whatsapp Group. Tentu saja aku menaruh harapan untuk mendapatkan nilai yang cukup tinggi agar memenuhi persyaratan minimal yang diminta. Namun, aku sesungguhnya ragu bisa memenuhi standar minimal nilai yang diminta yang relatif tinggi. Iowa State University, misalnya, mensyaratkan skor minimum 111 untuk TOEFL iBT (setara dengan nilai 8 di IELTS).

Pada akhir Desember, salah satu Fulbright Candidate memberikan informasi bahwa dia mendapatkan LoA dari kampus pilihannya. Bagiku, kabar tersebut menjadi tanda bahwa kampus – kampus di Amerika akan segera mengumumkan hasil seleksinya. Tentu, hal ini membuat hatiku makin tak karuan. Di akhir tahun saat semua orang hanya mengkhawatirkan Covid-19, aku justru punya kecemasan lain terkait studiku.

Ada yang bilang tahun baru harapan baru. Di tengah kekalutan akan kepastian nasib ini, aku mendapatkan sebuah email dari IIE pada tanggal 12 Januari 2021 bahwa esok pagi tanggal 13 Januari 2021 pukul 09.00 AM Central Time atau tepatnya pukul 10 P.M. WIB, aku diminta menghadiri interview dengan Iowa State University of Science and Technology (ISU). ISU adalah kampus yang sangat aku harapkan, dan memperoleh kesempatan interview dengan kampus tersebut rasanya seperti mendapatkan durian runtuh.

Iowa State University of Science and Technology (ISU) adalah universitas publik berbasis riset dia Ames, Iowa, Amerika Serikat
Iowa State University of Science and Technology (ISU) adalah universitas publik berbasis riset dia Ames, Iowa, Amerika Serikat

Di tengah perasaan suka cita ini, aku harus berusaha mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan kurang dari 24 jam. Aku pun kembali mempelajari proposal dan alasanku memilih ISU dan hal-hal lain terkait kampus ini. Hari itu, aku juga mencoba melakukan mock-interview dengan pertanyaan – pertanyaan yang aku kumpulkan dari Youtube. Bahkan, aku juga mempersiapkan slide presentasi yang akhirnya tidak digunakan sama sekali saat wawancara. Tidak seperti interview Fulbright yang berlangsung selama 30 menit, interview dengan ISU hanya berlangsung 15 menit melalui video conferencing. Pertanyaan yang aku terima berpusat pada apa yang aku ketahui tentang program studi yang aku ambil, professor, mahasiswa doctoral lainnya, dan penelitianku di Indonesia. Ada perasaan optimis mendengar respons positif (bagiku) dari dua orang interviewer yang salah satunya merupakan calon promotor yang aku usulkan di aplikasiku.

Hari berganti, rasa optimis selepas interview mulai terkikis karena hasil yang aku tunggu tak juga datang. Untuk menghilangkan kegelisahan, aku berusaha mencari informasi tentang durasi jeda antara interview dengan pengumuman, dan menemukan bahwa durasi yang ideal adalah antara satu sampai dua minggu. Mengikuti timeline di twitter pun seperti bumerang, karena ada beberapa orang yang mention program studi yang aku pilih sembari berujar bahwa mereka dinyatakan diterima di program tersebut. I am starting to lose hope. Sudah hampir satu bulan sejak aku mengikuti wawancara dan aku belum mendapatkan kabar apapun.

Interview dengan pihak Iowa State University of Science and Technology
Interview dengan pihak Iowa State University of Science and Technology

Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menanyakan kabar status wawancaraku dengan ISU kepada AMINEF melalui email. Sebenarnya, ini bukanlah pilihan yang baik karena bisa saja aku dianggap tidak sabar. Namun, aku bersyukur bahwa PIC dari AMINEF dengan cepat merespon emailku dan menyatakan bahwa aku ­­diterima di dua kampus: Iowa State University of Science and Technology dan University of Iowa. Seketika air mata membasahi kedua pipiku. Aku sangat bersyukur karena hal yang mustahil bagiku kini menjadi kenyataan. Bagiku, tanpa Fulbright, menembus kampus bonafid di Amerika dengan persyaratan masuk yang sangat kompetitif mustahil bisa terwujud. Thanks God, thanks Fulbright.

***

Sumber foto: AMINEFIIEISU, dokumentasi penulis

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here