Pengalaman Muhammad Tholchah Studi S3 di Finlandia Membawa Keluarga

1
6016

Berkuliah di luar negeri dengan membawa keluarga tentu bukan pekerjaan yang mudah, terlebih dengan jumlah anggota keluarga yang cukup banyak. Namun, pengalaman baru menikmati negara rantau bisa jadi memberikan kesan yang mendalam. Setidaknya pengalaman Muhammad Tholchah yang sejak tahun 2018 telah memboyong istri dan ketiga anaknya ke Tampere, Finlandia untuk menempuh pendidikan S3 Early Childhood Education Care and Policy di Tampere University dapat memberikan sedikit gambaran tentang dinamika mahasiswa Indonesia belajar di luar negeri dengan berbagi peran antara kuliah dan tanggung jawab keluarga. Dalam artikel ini, Columnist Indonesia Mengglobal, Dini Putri Saraswati akan membagikan cerita Tholchah belajar bersama istri dan anak-anak tercinta di negara asal Sinterklas ini.

 

Finlandia: Pendidikan Murah dan Berkualitas  

Jika bagi sebagian orang reputasi kampus dan dosen adalah faktor penting yang menentukan dalam memilih universitas, Tholchah justru menjadikan negara tujuan studi sebagai pertimbangan utama. “Karena saya sudah berkeluarga, tentunya ingin pada saat kuliah ditemani oleh istri dan anak-anak. Jadi, saya ingin berkuliah di negara yang ramah bagi mahasiswa yang membawa keluarga, terutama yang biaya pendidikan anaknya relatif terjangkau karena saya memiliki keinginan agar bukan hanya saya yang belajar, namun anak-anak saya juga”, ujar Tholchah.

 

Sebagai alumni Australia, Tholchah juga sempat membayangkan Australia sebagai negara tujuan studinya kelak. Namun, ia mengurungkan niatnya setelah mengetahui biaya daycare yang tidak murah, sementara ia memiliki anak kecil. Akhirnya, Tholchah mulai mencari kampus di Eropa karena biaya pendidikan anak jauh lebih terjangkau, bahkan beberapa ada yang gratis. “Sempat ada keinginan untuk berkuliah di Jerman, Swiss, atau Austria. Namun, sepertinya untuk bisa survive di negara-negara tersebut harus memiliki bekal bahasa Jerman sebagai syarat untuk mendapatkan visa. Sehingga saya mengurungkan niat saya”, kata Tholchah.

 

Pencarian Tholchah berhenti setelah menemukan Finlandia sebagai negara studi yang ideal baginya. Alasan memilih Finlandia karena studinya mengkombinasikan antara kuliah di kelas dengan riset dalam durasi yang tidak terlalu lama, yaitu empat tahun. Di negara tertentu, mahasiswa doktoral langsung riset tanpa sit in kuliah di kelas. Bagi Tholchah, sistem seperti ini kurang ideal karena mahasiswa doktoral masih membutuhkan penguatan teori dan konsep yang bisa dipertajam melalui diskusi di dalam kelas. Sebaliknya, ada juga negara yang menerapkan kebijakan course work yang cukup lama sehingga memakan waktu lebih lama. “Karena saya memulai studi doktoral sudah di usia yang cukup tua, tidak bisa terlalu lama kuliahnya. Makanya, Finlandia ini pas untuk saya”, ungkapnya.

 

Pertimbangan lainnya adalah karena studi doktoral di Finlandia tidak dipungut biaya yang tentu menguntungkan donor yang bersumber dari uang negara. Poin plus lainnya adalah sekolah anak pun tidak dipungut biaya. “Sebenarnya bukan gratis sih, tapi ditanggung oleh negara melalui pajak. Seluruh warga negara Uni Eropa di Finlandia dapat menikmati sekolah gratis ini mulai dari jenjang daycare hingga perguruan tinggi. Sedangkan, bagi pendatang diharuskan untuk membayar. Untuk daycare, perhitungan biayanya ditentukan berdasar jumlah anggota keluarga dan combining income suami dan istri. Semakin banyak anggota keluarga, maka akan semakin kecil pula jumlah biaya yang harus dibayarkan. Karena anak saya yang berusia sekolah ada tiga, berdasarkan kalkulasi Pemerintah Kota Tampere, combining income minimal saya adalah 3.900 euro per bulan. Berhubung allowance saya dari donor di bawah nominal tersebut, maka saya dibebaskan dari kewajiban membayar daycare”, tegasnya.

 

Tampere University, Finlandia
Tampere University, Finlandia – Sumber foto: wikimapia.org

 

Selain pertimbangan tersebut, Tholchah juga menemukan fakta bahwa pendidikan di Finlandia merupakan salah satu pendidikan terbaik di dunia, apalagi ia juga mendalami ilmu pedagogi sehingga berkuliah di Finlandia dapat menjadi kesempatan emas baginya untuk mempelajari secara langsung mengenai sistem pendidikan di sana. “Sistem pendidikan di Finlandia memiliki berbagai landasan filosofis yang unik. Karena prinsip yang diyakini dalam dunia pendidikan adalah kolaborasi, bukan kompetisi. Sehingga di sekolah tidak dikenal sistem ranking atau ujian terstandar. Bagi Finlandia, setiap anak memiliki latar belakang yang berbeda-beda yang membuat masing-masing anak unik sehingga tidak perlu dibandingkan dan dinilai dengan satu alat ukur bernama ujian kenaikan kelas. Selain prinsip kolaborasi, Finlandia juga meyakini prinsip kesetaraan dan keadilan. Praktiknya, di manapun kita sekolah, maka akan menemukan guru, kurikulum, dan lembaga pendidikan yang sama kualitasnya. Sehingga tidak dikenal sekolah favorit atau non-favorit. Memang apa yang dipraktikkan di Finlandia tidak bisa langsung ditelan mentah-mentah. Jelas membutuhkan modifikasi yang sesuai dengan sistem pendidikan yang ada di negara kita”, tegasnya.

 

Di sisi lain, Finlandia juga merupakan salah satu negara dengan penduduk terbahagia di dunia. “Bagaimana tidak? Di Finlandia, kesenjangan sosialnya cukup rendah karena warga negara yang penghasilannya di bawah rata-rata diberi subsidi, sedangkan mereka yang penghasilannya tinggi dikenai pajak yang tinggi pula. Prinsip negara sejahtera memang menekankan agar kesenjangan antar warga bisa ditekan seminimal mungkin. Hal ini juga didukung oleh rasa tanggung jawab dan kesadaran yang tinggi warga masyarakat untuk membayar pajak, terlebih mereka meyakini bahwa pajak tersebut juga akan kembali ke mereka sendiri dalam bentuk berbagai fasilitas yang diterima”, ujar Tholchah.

 

Sifat orang-orang Finlandia yang penuh tanggung jawab tidak dibentuk secara instan, sebab prosesnya dimulai sejak mereka masih kanak-kanak. Contohnya adalah saat anak-anak harus menggunakan baju hangat saat musim dingin (halari), orangtua hanya boleh membantu di masa-masa awal dengan maksud memberi contoh dan selanjutnya membiarkan anak melakukannya sendiri. Bahkan saat anak-anak harus membawa tas ranselnya sendiri ke sekolah, orangtua pun tidak disarankan untuk membawakan supaya anak-anak belajar untuk bertanggung jawab atas barang bawaannya sendiri.

 

Dinamika Berinteraksi dengan Suasana dan Budaya di Finlandia

Tholchah merasa bahwa masyarakat Finlandia cenderung individualis secara positif. Sehingga hampir tidak ada ruang untuk ikut campur sesuatu yang tidak berkaitan dengan dirinya atau di luar keahliannya, terlebih menyebarkan hoaks. Meski begitu, orang-orang Finlandia dikenal cukup saklek dengan peraturan maupun norma yang berlaku. Sehingga mereka merasa aneh jika mendapati sesuatu di luar kebiasaan. Tholchah pernah mengalami pengalaman yang menggelikan tentang kesaklekan masyarakat Finlandia, yaitu soal nama anak keempatnya yang baru lahir di sana. Ia menamai anak perempuannya Zaida Syauqiya Tholchah. Beberapa hari setelah melapor ke Kantor Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil setempat perihal kelahiran dan nama anaknya, Tholchah menerima surat yang isinya menyatakan bahwa nama “Syauqiya” di Finlandia terdengar aneh. Karenanya, ia diharuskan untuk menuliskan maksud dan alasan di balik nama tersebut. Jadi, soal pemberian nama, pemerintah atau masyarakat Finlandia memiliki aturan tersendiri yang berlaku dan diketahui secara umum. Sehingga saat tidak sinkron dengan aturan pasti akan diklarifikasi.

 

Keluarga Tholchah menikmati salju
Keluarga Tholchah menikmati salju – Sumber foto: Dok. M. Tholchah

 

Dinamika lain yang ditemui di Finlandia adalah tantangan dalam berbahasa. Maklum, bahasa Inggris bukan bahasa yang utama di Finlandia. Bahasa utama di Finlandia adalah bahasa Finlandia, kemudian disusul bahasa Swedia dan Rusia. Beruntung perkuliahan Tholchah 100% dilakukan dalam bahasa Inggris. Tholchah mengaku bahwa seusia dirinya memang tidak ideal untuk mempelajari bahasa baru, meskipun bukan berarti tidak mungkin. Untuk mengakalinya, sebelum berangkat ke Finlandia, ia belajar kalimat dasar yang berguna untuk berkomunikasi sehari-hari. Di dalam keluarganya, Tholchah adalah satu-satunya yang tidak belajar bahasa Finlandia secara formal. “Di antara istri dan anak-anak, saya yang paling lemah kemampuan bahasa Finlandianya. Anak laki-laki saya di daycare dengan bahasa Finlandia sebagai pengantar. Selain itu, kakak-kakaknya belajar bahasa Finlandia di sekolah selama tiga pertemuan seminggu. Sedangkan, istri saya kursus bahasa Finlandia secara intensif. Jadi, saya mengandalkan keluarga saja kalau harus berhadapan dengan orang lokal”, kelakarnya. Secara umum, orang Finlandia akan sangat apresiatif jika ada pendatang yang berbahasa Finlandia. Yang lebih urgen lagi jika kita tidak dapat berbahasa Finlandia, cukup sulit dalam mencari pekerjaan. Sehingga bagi pendatang yang akan tinggal lama atau menetap di Finlandia, belajar bahasa Finlandia menjadi sebuah kebutuhan primer.

 

Selain bahasa, kendala lainnya adalah cuaca. Tidak hanya musim dingin yang cukup ekstrem di mana pada bulan Februari saja suhu udara bisa mencapai -38 derajat celcius, namun pergerakan matahari yang cukup signifikan. “Durasi siang dan malam bisa berbeda setiap harinya, sehingga waktu beribadah pun juga selalu berubah-ubah. Di musim panas, matahari muncul hingga pukul 12 malam atau bahkan lebih. Sebaliknya, di musim dingin, matahari mungkin akan muncul beberapa jam saja dan langit pun menjadi gelap. Perubahan ini menurutnya dapat mempengaruhi mood juga. Misalnya, saat akan berangkat ke kampus tapi di luar gelap sehingga menjadi tidak semangat. Atau sebaliknya, saat badan sudah sangat lelah bekerja seharian tetapi matahari tidak kunjung terbenam sehingga tidak dapat beristirahat dengan baik. “Yang paling menantang justru pada saat puasa, terlebih kalau bulan Ramadan jatuh pada musim panas. Pernah puasa hingga 20 jam atau lebih. Saat itu supervisor saya sempat khawatir saya akan sakit, tapi saya masih mampu mempertahankan puasa saya. Untungnya, meskipun musim panas paling suhunya hanya 20 derajat celcius. Jadinya tidak merasa haus,” tuturnya.

 

Tholchah (kanan) dan keluarga bersantai di musim dingin
Tholchah (kanan) dan keluarga bersantai di musim dingin – Sumber foto: Dok. M. Tholchah

 

Soal budaya akademik, Finlandia memang tidak menerapkan kebijakan tuition fee untuk jenjang PhD. Tetapi konsekuensinya juga tidak mudah. Di negara yang menerapkan tuition fee yang tinggi, mahasiswa internasional diperlakukan bak customer atau client. Sehingga universitas berupaya menyediakan berbagai infomasi dan layanan terkait kebutuhan mahasiswa baik akademik maupun non-akademik, misalnya layanan konseling, membantu membukakan rekening bank, memberikan informasi akomodasi, bahkan informasi pekerjaan sampingan. Sementara di Finlandia amat sangat berbeda. ”Saat baru tiba ke Finlandia, saya mendatangi registrar office di kampus untuk mendaftar studi, tapi setelah itu terus ke mana atau ngapain petugas tidak selalu tahu. Makanya, mahasiswa harus mencari tahu sendiri”, kenangnya.

 

Menyeimbangkan Pengasuhan Anak dan Perkuliahan

Kegiatan parenting juga merupakan tantangan tersendiri bagi Tholchah, terutama terkait pendidikan anak-anaknya dan juga penanaman ajaran agama. Dalam kultur Finlandia, partisipasi orangtua dalam mendampingi anaknya belajar adalah sebuah kebutuhan. Jadi, tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada guru di sekolah. Terkait cara berpakaian, anak perempuan Tholchah beberapa kali melontarkan pertanyaan tentang mengapa ia wajib mengenakan kerudung sedangkan teman-temannya tidak. Atau pada saat menerapkan ajaran berpuasa di saat kebanyakan orang di Finlandia tidak ada yang berpuasa. “Ada guru yang bisa mengerti mengenapa anak saya harus berpuasa dan itu tidak menjadi masalah. Tapi, ada juga yang tidak dapat menerima alasan kami. Apalagi makan siang diwajibkan di sekolah-sekolah di Finlandia. Sehingga jika ada anak yang tidak makan, gurunya yang akan menanggung akibatnya apabila anak tersebut jatuh sakit,” ungkapnya. Sebagai solusinya, Tholchah memperbolehkan anak-anaknya untuk tidak berpuasa saat bersekolah, tetapi pada hari libur anak-anak wajib berpuasa. Hal ini perlu dilakukan agar ibadah tidak menjadi kendala karena menurutnya beberapa praktik ibadah perlu disesuaikan dengan situasi.

 

Waktu salat pun juga berpengaruh terhadap aktivitas sang anak. Terutama anak sulung Tholchah yang sedang beranjak remaja mulai aktif mengikuti kegiatan di luar sekolah sehingga agak sulit untuk menjaga salat tepat waktu, apalagi terkadang letak masjid yang cukup jauh. “Yang penting anak-anak tidak lupa akan kewajibannya. Jika memang ada kegiatan maka boleh mendahulukan kegiatan tersebut, tapi ketika ada kesempatan untuk salat anak-anak harus segera menunaikan kewajibannya,” tegasnya.

 

Membagi waktu agaknya cukup menguras energi Tholchah. Ia baru bisa mengajari anak-anaknya mengaji sore hari ketika pulang kuliah. Namun, terkadang ia harus pulang larut sehingga tidak dapat mengajari anak-anaknya mengaji. Oleh karena itu, ia membuat jadwal belajar mengaji dengan anak-anaknya. Dalam hal ini, peran istri menurut Tholchah sangat penting karena sang istri banyak membantunya mengajar mengaji tatkala ia berada di luar rumah. Selain itu, Tholchah juga memanfaatkan kegiatan komunitas Muslim di daerahnya. Di Finlandia, komunitas Muslim yang terbesar adalah Ikatan Masyarakat Muslim Indonesia (IMMI) yang sering menggelar kajian untuk anak dan dewasa. Sayangnya, IMMI lebih banyak melakukan kegiatan di Helsinki dan sekitarnya. “Jika IMMI mengadakan kajian di Tampere pasti saya dan keluarga akan mengikuti karena banyak kegiatan yang cukup positif bagi kami. Apalagi kami dapat bertemu dengan teman-teman dari Indonesia,” tambahnya.

 

Tholchah (baris kedua, keempat dari kiri) berkumpul bersama teman-teman dari Indonesia
Tholchah (baris kedua, keempat dari kiri) berkumpul bersama teman-teman dari Indonesia – Sumber foto: Dok. M. Tholchah

 

Terlepas dari tidak mudahnya menanamkan ajaran agama, Tholchah menyatakan bahwa banyak aspek dari pendidikan di Finlandia yang dapat dijadikan model bagi anak-anaknya. Di Finlandia, pendidikan literasi benar-benar ditekankan bahkan sejak dini. Tholchah sering mendampingi anak keduanya yang kini menginjak kelas 3 di Sekolah Dasar (SD) untuk mendiskusikan buku cerita. “Yang menurut saya unik adalah di sampul buku cerita anak-anak dituliskan berbagai pertanyaan untuk merangsang anak menebak isi cerita. Setelah selesai membaca cerita, di belakang buku terdapat beberapa pertanyaan untuk medorong anak berpikir kritis. Sehingga, dari aktivitas membaca buku cerita, anak-anak tidak hanya belajar membaca saja, namun juga melatih kemampuan imajinasi dan analisis”, jelasnya.

 

Anak-anak di Finlandia juga diharapkan untuk tidak hanya menguasai mata pelajaran yang esensial di sekolah saja, namun juga harus banyak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan-kegiatan di luar sekolah ini biasanya berbayar, oleh karenanya orangtua mendapat child benefit untuk mendukung anak-anak dalam mengembangkan dirinya. Selain itu, pemerintah Finlandia juga menyediakan fasilitas-fasilitas untuk menunjang kegiatan belajar anak, seperti perpustakaan umum, playground, hingga festival anak.

 

Anak-anak Tholchah belajar menggunakan transportasi umum sendiri
Anak-anak Tholchah belajar menggunakan transportasi umum sendiri – Sumber foto: Dok. M. Tholchah

 

Kiat Tholchah Berkuliah Sambil Membawa Keluarga di Finlandia

Tholchah selalu menekankan untuk menyiapkan mental agar tidak kaget di negara tujuan studi sebelum berangkat, terlebih jika akan membawa keluarga. Oleh karena itu, bersama istri, Tholchah menanamkan pemikiran ‘siap repot’. Sehingga jika menemui hambatan, Tholchah dan istrinya sudah siap untuk mengatasi bersama-sama. Secara tidak langsung, mereka menjadi lebih terbiasa dan tidak mudah panik saat menghadapi sesuatu.

 

Istri dan anak-anak Tholchah yang selalu setia menemani
Istri dan anak-anak Tholchah yang selalu setia menemani – Sumber foto: Dok. M. Tholchah

 

Selain itu, penting juga untuk mencari teman dari Indonesia yang dapat diajak berbagi informasi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan studi. Tidak sulit dalam mencari teman, cukup gunakan media sosial atau bergabung di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), niscaya teman-teman di sana akan dengan senang hati membantu.

 

Karena membawa keluarga, salah satu perhatian utama adalah biaya yang bisa berkali-kali lipat, misalnya akomodasi. Finlandia bukan merupakan negara yang murah dalam hal akomodasi, terlebih bagi mahasiswa yang membawa serta keluarga ini memerlukan pertimbangan tersendiri. Apalagi sejak tahun 2019, mahasiswa doktoral di Finlandia dikategorikan sebagai researcher, bukan student. Sehingga tidak lagi berhak atas berbagai diskon mahasiswa, termasuk juga tidak diizinkan untuk tinggal di asrama mahasiswa. Karena itu, penting untuk menerapkan strategi efisiensi, misalnya memilih tempat tinggal yang berada di pinggiran kota yang harga sewanya relatif murah meskipun cukup jauh dari kota. Dalam hal ini, membeli sepeda akan menjadi alternatif yang sangat baik. Pilihan efisiensi lainnya adalah membeli kebutuhan sandang di kirputorri atau secondhand shop. Tidak usah khawatir, meskipun barang second tapi kualitasnya masih terjaga kok! Untuk kebutuhan pangan akan lebih baik jika memasak sendiri untuk menghemat biaya.

 

Jadi, dinamika yang dialami selama studi sambil membawa keluarga memang sangat beragam. Ia menegaskan untuk tidak perlu takut membawa serta keluarga karena walaupun sedikit merepotkan, pengalaman yang diperoleh bersama keluarga akan sangat berharga. “Selama perencanaan studi sudah matang, jangan khawatir, meskipun banyak masalah kita akan tertempa untuk berpikir solutif. Di negara rantau pasti akan banyak kawan yang siap membantu. Apalagi kita kan juga punya Tuhan. Jadi, tidak usah takut. Pengalaman kuliah bersama keluarga menurut saya justru mengajarkan banyak hal yang mungkin tidak akan kita dapatkan saat kita berada di tanah air”, tutupnya.

 

Bapak siaga: Potret Tholchah (kiri) bersama keluarga
Bapak siaga: Potret Tholchah (kiri) bersama keluarga – Sumber foto: Dok. M. Tholchah

 

***

Muchammad Tholchah, atau biasa dipanggil Tholchah, saat ini tercatat sebagai tenaga pengajar di Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama. Setelah lulus dari Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Tholchah melanjutkan studinya di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Sosiologi Agama atas biaya Kementerian Agama Republik Indonesia bekerja sama dengan McGill University, Kanada. Kemudian, ketertarikan terhadap tema-tema pendidikan membuatnya mengambil studi master lagi dengan jurusan berbeda, dalam bidang pendidikan, di Monash University, Australia, atas biaya Australian Development Scholarship (ADS). Bapak empat anak ini pernah bekerja sebagai packer di perusahaan percetakan, mengajar di sekolah menengah, tukang ketik di sebuah kementerian, national adviser program kemitraan pendidikan Indonesia-Australia, serta quality assurance coordinator Program Beasiswa 5000 Doktor di Kementerian Agama. Sejak Maret 2018 Tholchah bersama istri dan anak-anaknya tinggal di Tampere, Finlandia untuk menempuh pendidikan doktoral atas dukungan penuh dari Beasiswa Pendidikan Indonesia Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (BPI LPDP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Topik riset yang sedang dikerjakannya adalah profesionalisme guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) laki-laki di Indonesia. Selain studi, Tholchah amat menyukai permainan sudoku dan bulu tangkis serta sesekali menulis opini di The Jakarta Post dan SindoNews – itupun kalau nggak pulas terlelap karena tinggal di area Eropa Utara yang hawanya bikin kepingin tidur. “Bersahabat dengan kegagalan” adalah motto hidupnya terutama setelah empat kali gagal mendaftar beasiswa S2 dan enam kali gagal lolos beasiswa S3 luar negeri.

***

 

1 KOMENTAR

  1. Halo. Mau bertanya, utk beasiswa program doktoral dari LPDP, keluarga kan dapat tunjangan ya mas? Pengalaman mas sendiri saat itu keluarga bisa langsung berangkat atau nunggu dulu ya? Terima kasih sebelumnya. Salam

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here