Take Home Notes: Living as Postgraduate Student in Melbourne Australia

0
3642
Foto penulis, Destari Puspa Pertiwi

Saat ini, banyak orang ingin kuliah ke luar negeri dengan beasiswa penuh. Walaupun begitu, lingkungan dan budaya yang berbeda dengan Indonesia merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh calon mahasiswa internasional asal Indonesia bila ingin kuliah di luar negeri. Pada artikel ini, Kolumnis Destari Puspa Pertiwi akan membagikan cerita tentang pengalaman-pengalamannya saat kuliah di Australia.Yuk, mari kita simak bersama cerita dari Destari Puspa Pertiwi.

***

Kuliah di luar negeri untuk jenjang master dan mendapatkan beasiswa tentunya merupakan suatu keberkahan buat saya pribadi. Mimpi ini sudah saya rajut sejak lama bahkan sejak saya masih di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah membayangkan seperti apa rasanya hidup di negara asing dengan kebudayaan yang berbeda dari kehidupan saya ketika masih di Indonesia. Menjalani hari – hari sebagai mahasiswa S2 yang mendapatkan bantuan dana untuk hidup dan juga biaya sekolah dari pemerintah melalui Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tentunya bukan sesuatu yang mudah seperti membalikkan telapak tangan.

Saya mulai serius untuk mengejar beasiswa ini sejak awal tahun 2015 dan baru mendapatkan beasiswa ini pada tahun 2017. Tentunya saya juga pernah mengalami kegagalan dan ditolak beasiswa lain serta gagal dalam mempersiapkan kompetensi bahasa yang bernama IELTS (International English Language Testing System). Tapi saya selalu percaya bahwa untuk meraih suatu mimpi memang harus berjuang dahulu dan tak jarang harus menemui kerikil atau bahkan tersandung di tengah perjalanan. Makna dari semua jatuh bangun yang saya hadapi adalah bahwa hasil memang tidak akan menghianti usaha.

Setelah dinyatakan sebagai mahasiswa master di Fakultas Pendidikan Monash University, Australia pada Februari 2018 bukanlah akhir dari sebuah mimpi yang telah saya rajut sejak sepuluh tahun lalu. Justru hal tersebut merupakan sebuah episode baru dalam kehidupan yang harus saya jalani. Tentunya ada perasaan euphoria karena telah berhasil menginjakkan kaki dan menghidupi mimpi – mimpi saya pada akhir musim panas di benua kangguru itu yang jatuh pada bulan Februari. Saya pun sudah meniatkan untuk juga kemudian mengisi waktu yang saya miliki dengan kegiatan non-akademis yang tentunya juga menunjang karir saya sebagai seorang Public Relation dan praktisi di bidang Digital Learning.

Salah satu alasan kenapa saya mengambil jurusan Digital Learning karena memang kita hidup di era teknologi berkembang sangat pesat dan dibutuhkan talent – talent yang mengerti akan bidang keilmuan ini. Selama saya berkuliah tentu saja saya pernah merasa stress dan tertekan dengan semua pressure yang datang dari dalam dan dari luar. Tapi bukan berarti hal tersebut kemudian membuat saya terus menyerah karena saya menyadari bahwa segala ujian secara tertulis maupun ujian kehidupan justru menguatkan saya. Ada beberapa catatan penting yang saya bisa jadi pedoman di kemudian hari untuk saya pribadi dan juga untuk pembaca Indonesia Mengglobal yang mungkin nanti mendapatkan kesempatan juga untuk sekolah ke luar negeri:

  1. Networking dengan banyak komunitas selama tinggal di luar negeri

Tentunya kita kerap merasa asing dan juga rindu akan tanah air ketika sedang tinggal lama di luar negeri. Maka sangat penting untuk juga kemudian membangun relasi yang tidak hanya dengan sesama orang Indonesia namun juga warga lokal dan juga teman – teman internasional. Justru, saya merasa bahwa terkadang kita memperoleh rezeki ketika kita menjaga silaturahmi satu sama lain. Pengalaman saya selama melanjutkan studi master di Melbourne, saya juga aktif di komunitas Indonesia dan juga bekerja paruh waktu menjadi freelance journalist di salah satu majalah berbahasa Indonesia di Melbourne bernama OZIP Magazine.

Pengalaman penulis saat menjadi Welfare Officer
Pengalaman penulis saat menjadi Welfare Officer

Berkah dari pengalaman tersebut bahkan membuat saya sempat menjadi Welfare Officer untuk Short Course Australia Awards Indonesia mengenai Disengagement and Rehabilitation of Violent Extremist dari Monash University yang memungkinkan saya untuk bekerjasama dengan praktisi dan akademisi di bidang keilmuan yang walaupun sangat bersebrangan dengan kuliah yang saya ambil tapi justru menambah pengetahuan baru untuk saya.

  1. Belajar untuk menerima kegagalan

Berkuliah dengan beasiswa dan juga jadwal berkegiatan non-akademik yang kadang berbenturan satu sama lain pasti memunculkan polemik dan juga rasa stress. Awalnya mungkin bagi saya agak sulit untuk menerima kegagalan atas rencana yang telah saya susun dan bangkit kembali. Apalagi jurusan yang saya ambil cukup baru bagi saya dan tentunya jika dibandingkan dengan teman – teman kuliah saya yang berbagai dari macam negara seperti Rusia, Australia, Jepang dan tentunya Australia yang sudah memiliki pengalaman seabrek sempat bikin saya minder. Beribu pertanyaan kadang hadir di kepala kalau saja kita bisa melakukan rencana A, B, C atau D untuk menghindari kegagalan tersebut. Tapi saya juga yakin bahwa rencana Tuhan itu jauh lebih baik dari semua daftar keinginan yang kita rancang. Terkadang Tuhan menggagalkan rencana kita karena mungkin kita akan mendapat hasil yang lebih baik.

  1. Teruslah melangkah walau penuh peluh

Bagian tersulit dari melanjutkan perjalanan yang berliku adalah untuk berdiri melangkah kembali setelah bertubi – tubi menemui kesulitan. Tentu saja, mungkin kita sempat merasa dihadapkan dengan jalan buntu atau otak yang mempet ketika harus mengejar deadline dengan tanggung jawab lain yang harus dijalani secara bersamaan. Saya pun kemudian juga menjadi sadar bahwa kita sebagai manusia memang selalu ingin hasil yang sempurna tapi akan jauh lebih baik ketika kita mampu berprogres sedikit demi sedikit. Karena yang paling penting adalah bukan pertarungan kita melawan orang lain dengan segala pencapaian yang seabrek, namun adalah bagaimana kita melawan ego dan rasa takut yang ada dalam diri.

  1. Belajar menerima “rasa” dan menyayangi diri sendiri

Catatan terakhir yang ingin saya bagikan adalah tentang bagaimana kita menghargai dan mengapresiasi semua perasaan yang ada di dalam diri kita. Boleh jadi kita merasa sedih, marah, kecewa terhadap diri kita dan orang lain tapi saya pribadi pun ingin lebih terbuka atas semua perasaan tersebut yang dialamatkan kepada diri sendiri. Saya pun kemudian paham bahwa memang kadang hidup tidak selalu indah jadi ya tidak apa – apa untuk rehat sejenak dan tidak menyalahkan diri sendiri. Berpikir positif tentunya memang baik tapi kita juga tidak boleh abai atas emosi lain yang ada di dalam diri. Bagian terpentingnya adalah kita baru bisa benar – benar menyayangi orang lain dan menjadi “lentera” bagi sekeliling kita saat kita sudah benar – benar selesai dengan diri sendiri dan tahu “warna” yang kita punya.

***

Sumber foto : Destari Puspa Pertiwi 


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here