Gegar budaya di Straya

0
3719
Foto penulis

Walaupun tinggal di luar negeri terkesan mengasyikkan, gegar budaya atau culture shock terkadang dialami oleh kebanyakan orang. Memahami dan menyesuaikan dengan budaya tempat tinggal merupakan salah satu cara untuk mengatasinya. Berikut cerita dari kontributor Imam Hanafi tentang pengalaman gegar budaya saat menimba ilmu di Australia.

***

Gegar budaya atau lebih dikenal dengan culture shock merupakan pengalaman kaget ketika seseorang menemui kondisi lingkungan yang berbeda dengan tempat biasa orang tersebut tinggal. Selama ini, saya hanya mengerti definisi dari kata tersebut. Namun, begitu saya sampai di Australia saya baru memahami maksud dari kata tersebut. Saya akan berbagi cerita tentang pengalaman gegar budaya yang saya alami sebagai seorang muslim selama saya menimba ilmu di Australia atau bahasa gaulnya Straya.

Gegar budaya yang pertama ialah berkaitan dengan cuaca. Australia ialah negara dengan 4 musim. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang hanya memiliki 2 musim. Musim dingin ialah musim yang harus saya hadapi saat pertama kali tiba di Australia. Dan bagi saya, ini merupakan perjuangan ekstra karena saya terbiasa tinggal di Surabaya dengan suhu yang bisa dibilang panas. Begitu keluar dari bandara, telapak tangan dan wajah terasa kaku sekali, seperti berada di dalam freezer. Waktu itu saya sengaja datang seminggu sebelum perkuliahan dimulai, dengan tujuan supaya bisa beradaptasi dengan lingkungan. Pada dua hari awal, badan saya benar-benar tidak kuat menahan dinginnya suhu udara meski berada di dalam rumah. Bahkan pada siang hari saya menyalakan heater, terlebih pada malam hari hingga menyebabkan tagihan listrik membengkak. Pada hari ketiga, saya memberanikan diri mencoba keluar rumah, berjalan-jalan di lingkungan sekitar. Dan alhamdulillah, seminggu kemudian badan saya sudah terbiasa dan hanya pada malam hari atau pada saat suhu di bawah 10 derajat Celsius baru memakai penghangat ruangan.

Penyambutan mahasiswa internasional oleh Lord Mayor
Penyambutan mahasiswa internasional oleh Lord Mayor

Beberapa saran dari saya jika kalian hendak bersekolah ataupun berkunjung ke Australia pada saat musim dingin. Yang pertama, carilah rumah dengan lantai beralaskan karpet. Hal ini cukup meredam hawa dingin yang berada di dalam rumah. Kemudian, carilah rumah yang tidak terlalu banyak lubang ventilasi di dalamnya. Saya pribadi sudah 3 kali berpindah tempat tinggal. Rumah pertama yang saya tempati lantainya tidak dilapisi karpet, ditambah banyak sekali ventilasinya. Malahan, di dalam kamar tidur ada 4 buah. Jadi bisa dibayangkan saat musim dingin ditambah angin yang berembus kencang menyapamu di dalam kamar. Selanjutnya, usahakan mandi sebelum keluar rumah. Mandi pun bukan sekedar mandi namun dengan aturan yaitu dimulai dengan air hangat. Bilas sampai semua badanmu bersih, lalu kurangi air hangat dan tambahkan air dingin, biarkan air tersebut selama 5 menit, tambahkan lagi air dingin dan kurangi air hangat. Begitu seterusnya hingga dirasa cukup. Jangan lupa juga untuk memakai pakaian berlapis.

Tidak seperti di Indonesia yang hanya turun saat musim penghujan, di Straya, hujan bisa turun di musim apa saja, bahkan jika saat siang hari matahari cerah, sore hari bisa turun hujan dengan tiba-tiba. Selalu pantau ramalan cuaca di ponsel kamu sebelum beraktivitas, paling tidak hal tersebut bisa membantu kita harus berpakaian seperti apa dan apa yang harus dipersiapkan.

Foto seusai makan malam di rumah keluarga yang berasal dari Bosnia
Foto seusai makan malam di rumah keluarga yang berasal dari Bosnia

Gegar budaya yang kedua ialah tentang air. Hal yang saya lakukan pertama kali begitu pesawat mendarat ialah pergi menuju toilet. Setelah kurang lebih 12 jam perjalanan, saya merasa perlu membasahi wajah supaya kembali segar. Selain itu, saya kurang nyaman jika harus buang air kecil di dalam toilet pesawat. Setelah selesai buang air kecil, saya baru menyadari bahwa tidak ada tombol atau gagang untuk menyiram kloset yang saya gunakan. Tangan saya meraba ke sana kemari untuk mencari namun nihil. Lantas saya menggerakkan badan saya ke kanan dan ke kiri sambil berharap ada sensor di depan saya. Meski demikian, tetap saja tidak ada perubahan. Dengan berat hati saya menyudahi dan meninggalkan najis di pakaian saya. Setelah lama di sini, saya baru tahu kalau memang ada beberapa toilet yang di set setiap sekian menit sekali akan menyiram secara otomatis, jadi tidak terdapat tombol siram. Sedangkan toilet yang lain tetap ada tombol siram. Akan tetapi, jangan berharap akan adanya selang panjang yang memancarkan air seperti toilet di Indonesia. Setelahnya, saya selalu membawa botol air kemanapun saya pergi untuk berjaga-jaga jika tidak menemukan air untuk membasuh.

Yang ketiga ialah mengenai tempat solat. Karena bukan negara dengan mayoritas muslim, maka tidak heran jika sangat sedikit sekali masjid. Lantas, bukan berarti menjadi alasan untuk meninggalkan ibadah. Kita bisa memasang aplikasi “go pray” di ponsel kita. Aplikasi ini akan memberitahukan tempat mana saja yang bisa kita gunakan untuk solat. Untuk tempat wudhunya kita bisa gunakan toilet. Hal yang perlu diingat ialah jangan terlalu membasahi lantai kamar mandi dengan percikan air wudhu kita. Mereka tidak suka dengan wet floor, yaitu keadaan lantai basah penuh dengan air. Pernah saya tinggal serumah dengan warga negara Australia. Setiap kali selesai menggunakan kamar mandi, maka saya diharuskan mengepel lantai kamar mandi tersebut. Lain cerita saat saya tinggal serumah dengan orang Indonesia yang sudah terbiasa dengan lantai kamar mandi yang becek.

Kalau tidak menemukan tempat untuk solat atau dirasa terlalu jauh, maka solat bisa dilakukan di taman. Tidak perlu takut menjadi pusat perhatian. Selama tidak mengganggu kepentingan umum, masyarakat tidak keberatan, bahkan cenderung tidak peduli dengan apa yang dilakukan orang lain.

Foto seusai kelas multimedia translation
Foto seusai kelas multimedia translation

Kedisiplinan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Australia. Telat satu menit saja maka bis sudah berangkat dan tidak akan berhenti meski kita mengejarnya. Begitu juga dengan perkuliahan. Tidak ada tambahan waktu jika datang terlambat saat ujian. Hak-hak penyandang disabilitas sangat diperhatikan oleh mereka. Tatapan-tatapan sinis atau merendahkan jarang sekali ada, bahkan terhadap penampilan fisik orang lain yang “kurang”. Bagi mereka, semua orang adalah sama. Tidak peduli tua ataupun muda, jika mereka melakukan kesalahan, mereka akan meminta maaf. Hal ini ter-refleksikan dalam Bahasa mereka “mate” yang berarti persamaan.

Bagi saya yang sedang menempuh pendidikan di bidang Bahasa, mengetahui budaya Ausie secara langsung merupakan hal yang sangat berharga. Karena budaya sedikit banyak mempengaruhi Bahasa mereka dan sebaliknya. Pada akhirnya, gegar budaya bukan melulu soal hal negatif. Melalui gegar budaya kita bisa lebih bijaksana dalam melihat dan menilai budaya yang berbeda dari kita. Bukankah Jean-Jacques Rousseau pernah berkata “that whoever has seen but one people, instead of knowing men, knows only those with whom he has lived”. Jadi jangan takut untuk bertemu dan mencoba sesuatu yang baru.

***
Sumber Foto: Imam Hanafi 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here