Grad School Is No Picnic: Uncensored First Semester at NYU Wagner

0
4851
Puck Building, NYU Wagner
Puck Building, Markas NYU Wagner

Banyak orang memilih untuk melanjutkan studi pascasarjana di luar negeri karena mereka ingin mengalami hidup di negara yang berbeda dan bergaul dengan teman dari berbagai budaya. Lagi pula, yang sering kita lihat di Instagram adalah foto-foto liburan dari teman-teman yang belajar di luar negeri, kan? Kenyataannya, studi di luar negeri itu lebih susah. Di artikel ini, Ayu Arianti berbagi pengalaman dari semester pertamanya di NYU Wagner Graduate School of Public Service.

Kalau kita melihat akun Instagram orang-orang yang sedang kuliah di luar negeri, pasti yang kita sering lihat adalah foto-foto lagi liburan di kota-kota tercantik di dunia. Karena itu banyak pemikiran yang tumbuh, “Ini orang-orang yang kuliah di luar negeri, kenapa kerjaannya posting foto liburan terus? Belajar gak sih?” Kenyataannya: foto-foto di social media itu tidak mencerminkan waktu kita saat kuliah, not even close. Kehidupan sekolah di luar negeri dipenuhi dengan membaca puluhan bacaan setiap minggu, perpustakaan menjadi tempat paling sering dikunjungi mengalahkan rumah sendiri, begadang menjadi rutinitas hampir setiap hari, dan terkadang kita masih merasa kurang dibanding teman-teman kuliah kita. This will be my uncensored first semester.

Setiap Minggu Ada Tugas dan Puluhan Halaman Bacaan Untuk Setiap Mata Kuliah

Setiap hari akan selalu ada tugas untuk dikerjakan dan materi untuk dibaca untuk setiap mata kuliah yang diambil. Untuk masuk kelas di sekolah magister setiap mahasiswa harus siap karena sistem perkuliahan di Amerika Serikat (AS) adalah sistem diskusi. Dosen tidak akan “menyuapi” materi ke mahasiswa, tapi dosen akan beranggapan semua mahasiswa sudah baca materi dan sepanjang kelas akan diskusi terhadap materi yang dibaca. Kalau mahasiswa ada yang tidak baca materi akan dipastikan bahwa mahasiswa itu akan keluar kelas dalam keadaan bingung atau tidak bisa berpartisipasi di dalam diskusi kelas. Yes, you have to be prepared only to attend classes not only during exam weeks.

Gaya Menulis Asia Berbeda Dengan Amerika Serikat

Jujur saja, saya baru mengetahui besarnya perbedaan gaya menulis orang Asia dengan orang Amerika Serikat ketika saya mengambil mata kuliah Intro to Public Policy dimana kelas ini mewajibkan seluruh mahasiswanya untuk menulis 5 memo selama satu semester. Di tiga tugas awal pertama, saya selalu mendapatkan nilai yang rata-rata. Susah sekali untuk mendapatkan nilai A di kelas ini, hingga saya suka heran ini karena tulisan saya yang memang jelek, atau Teaching Assistant (TA) yang memang sulit mengerti, atau ini karma? Kalimat pamungkas saya ketika ini adalah “B lagi, B lagi. Kapan dapet A nya!” Ketika saya menanyakan ini ke dosen dan TA jawabannya selalu “You have nothing to worry about”. Ternyata orang Amerika selalu menulis dalam bentuk cerita. Ini kontras dengan cara menulis orang Asia yang lebih straightforward. Disinilah culture shock saya terjadi. Hanya dengan cara menulis dan lewat menulis sebenernya membuat saya mengerti cara berpikir dan bercerita orang Amerika.

Sudah Usaha Tetap Saja Nilai Tidak Memuaskan

Ask any Indonesian who’s in grad school and they will say yes to this. Hampir semua orang Indonesia yang mengenyam pendidikan di luar negeri merasakan bagaimana rasanya menjadi inferior dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Saya bisa saja masuk ke dalam kelas dengan semangat 45 dan setelah membaca seluruh bacaan wajib, dan ketika diskusi kelas mulai tetap saja argumen saya dapat dipatahkan dengan mudahnya oleh teman-teman sekelas. Dan hal ini terjadi ketika saya ujian, setelah begadang hingga tertidur di lantai kamar jam 3 pagi (ini sering terjadi dengan saya ketika exam weeks hingga saya pernah dikira pingsan oleh roommate saya), tetap saja saya masih kebingungan ketika ujian dan mendapatkan nilai yang lebih rendah daripada teman-teman saya. Dan kembali lagi ke kalimat pamungkas “B lagi, B lagi”. Is that a reason to bring you down? Not a chance.

Perpustakaan Menjadi Seperti Rumah

Mahasiswa akan lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan kampus daripada di rumah sendiri. Selama weekdays inilah rutinitas saya: (1) bangun pagi regardless kuliah jam berapa tetap bangun pagi, (2) siap-siap lalu berangkat ke kampus, (3) untuk kelas pagi langsung masuk kelas, jika kelas sore langsung masuk library, (4) library lagi hingga malam, (5) pulang jika tidak ada kelas malam. Saya secara pribadi lebih suka belajar di perpustakaan karena jika saya belajar di rumah saya akan terdistraksi oleh tidur dan Netflix. Sehingga saya pun selama kuliah (bukan hanya selama exam weeks) lebih sering ditemukan di perpustakaan daripada di rumah.

The Elmer Holmes Bobst Library
New York University’s The Elmer Holmes Bobst Library

Hanya Bisa Liburan Ketika Libur

Tentu saja, mahasiswa tidak akan bisa liburan ketika semester sedang berlangsung. Hal ini karena jika mahasiswa melewatkan perkuliahan sekali saja, jujur catching up akan sulit.

Di THE ICON Orlando, Florida
Di THE ICON Orlando, Florida
Celebrating Christmas in Lotte New York Palace
Celebrating Christmas in Lotte New York Palace

Jadi foto-foto liburan itu tidak diambil di sela-sela perkuliahan. Bahkan sejak 3 minggu sebelum ujian saya sudah izin dengan keluarga dan teman-teman di Jakarta untuk “menghilang” selama exam week untuk fokus belajar. Awalnya sempat ada yang berpikir “Hah segitu sibuknya ya?” “Alaaa paper doang apa susahnya si? Tinggal copy-paste!” but yes it is true. Dan membuat tugas paper di grad school tidak bisa semata-mata copy-paste dari sumber. Amerika Serikat memiliki peraturan yang sangat ketat mengenai pengutipan dan jika salah metode pengutipan dapat beresiko plagiarisme, dan plagiarisme merupakan pelanggaran berat yang akan mendapat hukuman yang serius dari kampus. Dan ketika sedang disibukkan dengan banyaknya tugas dan bacaan, saya pun tidak mungkin masih sempat-sempatnya posting foto dengan mata mengantuk, tanpa make-up, sedang minum kopi gelas ketiga, dan yang pasti tidak sedang liburan.

Seems like a lot? Yes. Impossible? No. Saya tidak akan hanya memberikan gambaran brutal tentang kehidupan kuliah di NYU tetapi saya juga akan memberi tips-tips on how to tackle life in grad school. Here it goes.

Make Allies

You will not survive grad school without allies. Sekutu ini bisa dalam bentuk kelompok belajar, tutoring, bahkan teman curhat. You will need help, lots of it, and don’t be afraid to ask. Jujur saya lemah dalam pelajaran yang hitung-hitungan seperti microeconomics dan statistics. Dan ketika saya menyadari ini saya mulai bertanya-tanya dengan teman sekelas apakah ada yang sedang membuat kelompok belajar, dan biasanya ada banyak. Sistemnya adalah kita mengerjakan tugas bersama-sama dan jika ada yang tidak mengerti semua ikut membantu menjelaskan. Dengan ini tidak hanya membantu kita belajar, tetapi juga menambah sekutu kita di kampus.

ayu-arianti-6 (1)

My allies
My allies

Jangan Dipendam

Ketika saya sedang menjalankan persiapan keberangkatan LPDP, salah satu pembicara ada yang bilang bahwa sekolah di luar negeri itu sangat sangat berat, dan ketika kesulitan jangan dipendam, cerita sama orang. Sekolah sangat sangat sulit, dan memang jika dipendam maka akan membuat kita semakin stress. Find your trusted allies there, and talk. Talk about your problems, struggles, and life. Dengan ini tidak hanya kita melepas beban, tetapi kita mendapatkan teman baik baru ketika kita berada jauh dari rumah.

Me and Emily
Me and Emily

 

Setelah saya menyetujui admission offer untuk sekolah di NYU Wagner, saya di kontak oleh salah satu mahasiswa di sana yang bernama Xinchong Cao yang dipanggil Emily. Dia menjadi seperti mentor saya yang memandu saya di NYU Wagner. Bermulai dari pembicaraan mengenai perpindahan dari Jakarta ke New York City, hingga mengenai kelas dan dosen, kami pun menjadi teman curhat yang sering berbicara mengenai life, home, love, dan tentu saja beratnya NYU. Dan ketika kita mengeluarkan kefrustasian, kekesalan, keputusasaan dengan cerita kita mencegah diri kita untuk memendam masalah hingga stress sendiri.

Jangan Terus-Terus Dilihat Negatif

I realized the importance of being positive on my hardest times. Hal ini terjadi ketika saya sedang minggu ujian, dan tiba-tiba banyak teman-teman saya dari yang dekat hingga yang sebatas teman sekelas datang ke saya untuk curhat mengenai beratnya kuliah. Awalnya saya bingung, ini kenapa pada ke saya? Saya ada 5 orang teman di kampus yang datang dan bilang “OMG I can’t do this”, “I’m crying now because I’m so nervous about the finals”, “I only slept for 2 hours” dan masih banyak lagi keluhannya. Saya heran dan bertanya ke teman saya, “Why does everyone come to me to talk about their problems?”, teman saya hanya menjawab simpel “Because you are so positive about everything, I’ve haven’t seen you cry or be angry, and people want that positivity during hard times”. Memang saya menyadari ketika di kelas saya tergolong mahasiswa yang paling berisik, dan sering bercanda. Ketika tutoring microeconomics, tutor suka tertawa sambil berkata ke saya “you are so funny” ketika saat Halloween saya malah dengan semangat 45 berkata “Let’s steal candies from little kids!”. Satu ruangan pun langsung tertawa ketika sedang mengerjakan tugas microeconomics yang susahnya minta ampun. Ternyata, positivity does go a long way and it’s nice to be positive because not only do you help yourself but you help other people without even realizing it.

Grad school is tough, tough, tough. But no worries, people survived grad school for a reason. Kesulitan membuat kita menjadi orang yang lebih ”matang” dan siap menghadapi tantangan apapun. If you can survive grad school, you’ll survive anything. Seperti dari lagu I’m Still Standing oleh Elton John yang dinyanyikan oleh Johnny the Gorilla di film Sing,Don’t you know I’m still standing better than I ever did, Looking like a true survivor, feeling like a little kid”.

All photos were provided by author.


BAGIKAN
Berita sebelumyaPursuing a Master’s Degree in My 40s: Delayed but Never Too Late
Berita berikutnyaMenjadi Mahasiswa (Lagi) di Belanda
Ayu Ariyanti graduated with a Master of Public Administration degree from Robert F. Wagner Graduate School of Public Service, New York University. Prior to NYU, Ayu was a lawyer and earned her law degree from Universitas Padjadjaran. Currently she works as a Project Lead for Food Policy at Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives based in Jakarta. Outside her work, Ayu has a huge love for travelling, food, and pop culture. Ayu can be contacted by email at daa453@nyu.edu or by LinkedIn

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here