Program Mentorship Indonesia Mengglobal: Jembatanku Menuju Beasiswa Asian Peacebuilders Scholarship

2
4314
Penerima beasiswa APS angkatan 10 bersama President The Nippon Foundation, Dr. Takeju Ogata

Ingin memperdalam ilmunya dalam isu gender, Sorang memutuskan untuk mengambil pendidikan lebih lanjut ke jenjang S2. Dalam persiapannya menuju S2, Sorang mengikuti program mentorship dari Indonesia Mengglobal yang mempertemukannya dengan beasiswa Asean Peacebuilders Scholarship (APS). Bagaimana program IM mentorship membantu Sorang mempersiapkan segala sesuatunya untuk beasiswa APS? Yuk simak cerita Sorang di artikel ini!

Keinginanku untuk lanjut S2 bermula dari kebutuhanku untuk lebih memahami isu gender. Sesudah lulus kuliah S1 dari Hubungan International Universitas Indonesia, aku bekerja di salah satu NGO regional di Jakarta yang bekerja untuk isu hak asasi manusia. Aku dipercaya untuk mengurus satu proyek penelitian aksi partisipatif (participatory action research) mengenai perempuan penyintas[1] konflik di tiga negara: Indonesia, Timor-Leste, dan Myanmar. Pekerjaan ini menyadarkanku kalau aku lebih suka bekerja di lapangan bersama komunitas dibanding di balik meja bersama tumpukan buku. Karakter proyeknya yang partisipatif memberiku kesempatan untuk mengunjungi para penyintas di wilayah tinggal mereka. Aku bisa mendengarkan langsung kisah mereka, melihat keseharian mereka, dan bersama dengan mereka mengadakan kegiatan-kegiatan sederhana yang memberi mereka ruang untuk menyampaikan pendapat ke komunitasnya dan ke pemerintah daerahnya.

Aku sangat menikmati pekerjaanku, tapi ada banyak hal yang tak bisa kupahami dengan baik dengan pengetahuan yang kumiliki: Kenapa perempuan harus menjadi target kekerasan seksual ketika konflik terjadi? Kenapa perempuan dinilai kurang pantas memegang senjata dan berjuang bersama lelaki di garis terdepan? Kenapa orang lebih rentan mengalami kekerasan dibanding yang lain? Kenapa ada orang-orang yang terabaikan setelah konflik berakhir sekalipun mereka mengalami hal yang sama seperti orang-orang lain? Kenapa orang-orang harus diperlakukan berbeda hanya karena identitasnya?  Ada banyak pertanyaan “kenapa” lain yang terus muncul di benakku ketika melihat realita-realita di lapangan.

Sederetan pertanyaan ini mendorongku untuk mencari informasi mengenai program studi dan beasiswa S2 yang sesuai dengan kebutuhanku. Dari pencarian ini, aku memantapkan diri untuk mencoba International Peace Studies di Universitas Notre Dame di Amerika Serikat. Program studi ini menjawab kebutuhanku karena menyediakan beasiswa dan kesempatan untuk bekerja di lapangan sebelum lulus nanti. Aku mulai mempersiapkan aplikasiku sejak tahun 2014, tapi aku tak bisa mempersiapkannya dengan maksimal karena waktuku lebih sering tersita untuk pekerjaanku, terlebih ketika aku harus bertugas ke lapangan.

Suatu hari, salah satu teman memberitahuku tentang program mentorship dari  Indonesia Mengglobal. Tanpa pikir panjang, aku langsung mendaftar beberapa hari sebelum tenggat waktunya berakhir dan ternyata, aku terpilih untuk mengikuti program ini di tahun 2015. Program ini ‘memaksaku’ untuk berdisiplin karena aku harus mengerjakan tugas-tugas mentorship tepat waktu supaya aku tetap bisa terlibat dalam program ini. Proses mentorship ini tak hanya membantuku untuk mempersiapkan aplikasiku, tapi juga untuk mengenal diriku lebih dalam. Aku jadi tahu tentang kapasitas-kapasitas yang sudah kumiliki, peluang-peluang yang bisa kumanfaatkan, dan area-area yang perlu kutingkatkan untuk bisa bekerja dengan lebih baik lagi di bidang yang aku minati.

Ada satu hal yang sangat kusyukuri dari program ini. Melalui program ini, aku jadi tahu tentang Asian Peacebuilders Scholarship (APS) dan berhasil mendapatkannya. Ketika mengerjakan tugas mengenai tenggat waktu pendaftaran kuliah, aku tersadar kalau Universitas Notre Dame tidak menawarkan International Peace Studies saat itu karena program ini sedang dalam proses merger dengan program lain. Aku menjadi panik karena ini di luar dari perkiraanku. Akupun mencari-cari program-program lain dengan karakter yang sama dan setelah sekian lama, aku akhirnya mendapatkan informasi beasiswa APS.

Beasiswa ini tidak begitu populer, namun menyediakan tawaran yang sangat menarik: pendanaan penuh bagi kajian perdamaian, intensif bahasa Inggris sebelum kuliah, praktek lapangan dalam bentuk proyek kelompok sebelum lulus, dan dua gelar MA hanya dalam waktu kurang dari 22 bulan, tak sampai 2 tahun! Beasiswa yang didanai oleh The Nippon Foundation ini menawarkan sandwich program di dua kampus ternama: Ateneo de Manila University, salah satu universitas terbaik di Filipina, dan UN-mandated University for Peace (UPEACE), satu-satunya lembaga pendidikan di dunia yang didedikasikan untuk perdamaian dan didirikan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB. Aku semakin bersyukur lagi ketika tahu bahwa beasiswa ini sedang membuka pendaftaran untuk angkatan 10. Aku langsung mendaftar di beasiswa ini berbekal persiapan-persiapan yang sudah kulakukan selama program mentorship. Di akhir tahun 2015, aku menerima kabar baik kalau aku mendapatkan beasiswa ini. Selain APS, aku juga mendaftar aplikasiku untuk beasiswa Erasmus Mundus Joint Master’s Degree (EMJMD) untuk kajian Women’s and Gender Studies (GEMMA) dan aku berada di kategori reserve list. Aku akhirnya memutuskan untuk mengambil beasiswa APS dan memulai perkuliahanku di awal tahun 2016.

Bagiku, program mentorship IM menjadi pertolongan yang datang tepat pada waktunya. Program ini hadir di kala aku sangat membutuhkan bantuan dan bimbingan untuk mempersiapkan aplikasiku. Aku jadi lebih tahu bagaimana cara menulis personal statement yang mampu memperlihatkan keunggulanku dan kebutuhanku secara jelas.

Ini jadi hal yang penting karena personal statement itu menjadi kesempatan pertama untuk memperlihatkan keunggulan diri dibanding kandidat-kandidat lain yang setara. Ketika mempersiapkan ini, mentorku sedang sibuk dan tak sempat memeriksa statementku padahal tenggat waktu pengiriman aplikasinya sudah mepet. Aku langsung menghubungi salah satu panitia progam mentorship ini dan dia senang hati langsung mau membantuku. Berkat bantuannya, aku jadi bisa mengirimkan personal statement yang lebih baik untuk beasiswa APS dan Erasmus Mundus. Program ini juga sangat membantuku dalam mempersiapkan diri untuk mengikuti TOEFL, termasuk dalam membantu pendanaannya. Ini sangat meringankanku karena biaya untuk tes ini lumayan menguras kantong!

Bila teman-teman berencana untuk studi lagi di tahun ini dan sudah punya target yang jelas, aku sangat merekomendasikan program ini untuk kalian ikuti. Seperti pelita bagi kakimu, program ini akan mengarahkanmu ke hal-hal esensial yang perlu kamu ketahui untuk aplikasimu dan membimbingmu selangkah demi selangkah untuk mempersiapkan itu semua sehingga kamu mampu mengirimkan aplikasimu dengan lengkap (dan mendapat LoA tentunya). Belajar dari pengalamanku, visi yang jelas perlu dilengkapi dengan persiapan yang matang. IM melihat kebutuhan ini dan meresponsnya melalui program mentorship.

Akhir kata, selamat mencoba dan semoga sukses ya!

WhatsApp Image 2018-05-03 at 00.08.31

[1]Istilah penyintas atau survivor ini seringkali dipertukarkan dengan istilah korban atau victim. Sebagian orang lebih suka menggunakan istilah penyintas untuk memperlihatkan kekuatan korban dan kemampuan mereka untuk pulih dan menolong korban-korban lain. Yang lain lebih suka memakai istilah korban karena lebih sesuai dengan definisi legal yang ada dalam instrumen-instrumen HAM nasional dan internasional.

2 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here