Belanda VS. Finlandia

0
3362
Panorama kota Helsinki (Photo Courtesy of Pixabay)

Tenang, tidak ada jadwal pertandingan sepakbola seperti di atas dalam waktu dekat. Saya hanya akan berbagi sedikit pengalaman saya menimba ilmu di kedua negara tersebut. Latar belakang saya yaitu S1 di bidang Bioteknologi. Pada tahun ketiga, ada satu mata kuliah yang menarik minat saya, yaitu Nutrigenomika. Dalam mata kuliah tersebut, saya mempelajari tentang berbagai interaksi antara makanan dengan individu. Mata kuliah ini begitu menarik bagi saya, sehingga saya membulatkan tekad untuk melanjutkan studi di bidang ini.

Karena saya kesulitan menemukan universitas yang menawarkan program magister tentang interaksi antara nutrisi dan kesehatan di dalam negeri, saya mencoba mencari informasi tentang universitas yang memiliki riset tersebut di luar negeri. Setelah mengontak beberapa universitas, hanya beberapa dari mereka yang memiliki program studi magister di bidang ini. Pilihan saya akhirnya jatuh kepada Wageningen University, Belanda, karena mereka menyediakan spesialisasi khusus di bidang Gizi Molekuler dan Toksikologi dengan rangkaian mata kuliah pilihan yang mendukung pemahaman tentang mekanisme interaksi tersebut di tingkat molekul. Puji Tuhan, doa saya pun akhirnya dijawab 2 tahun lalu.

Di Wageningen University, program magisternya berlangsung selama 2 tahun untuk memenuhi target kredit 120 ECTS (European Credit Transfer System), sistem kredit serupa SKS (Sistem Kredit Semester). 60 ECTS di tahun pertama berupa mata kuliah, dilanjutkan dengan 60 ECTS untuk mengerjakan tesis dan magang pada tahun kedua. Satu ECTS setara dengan 28 jam belajar, baik di kelas maupun pribadi. Biasanya kuliah berlangsung setiap hari selama sekitar 2,5 jam, jadi bisa dibayangkan betapa besarnya proporsi belajar pribadi yang diharapkan. Waktu belajar mandiri dialokasikan untuk persiapan membaca materi sebelum kelas dimulai dan setelah kelas berakhir demi dapat memahami materi, membaca jurnal atau buku referensi, dan mengerjakan tugas atau latihan.

summer gathering PPIW 2015
Summer gathering PPI Wageningen 2015

Alhasil, saya merasa seperti karyawan purna waktu yang menghabiskan waktu belajar sekitar 40 jam per minggu. Sebagian mungkin disebabkan oleh keterbatasan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan pengetahuan saya, mengingat saya berpindah jalur dari Bioteknologi ke Gizi. Sebagian lagi mungkin karena bobot tanggung jawab yang diharapkan dari kuliah S2 lebih berat daripada S1. Setelah bertanya kepada beberapa teman, mereka pun merasakan hal serupa dan kami pun membentuk kelompok belajar. Kehadiran kelompok belajar sangat membantu untuk memahami materi yang sulit karena kami bisa saling berdiskusi di dalam kelompok. Jika masih ada yang tidak kami pahami, kami dapat bertanya kepada dosen saat kuliah atau melalui surat elektronik. Satu hal yang saya pelajari selama berkuliah di Belanda adalah bahwa tidak ada pertanyaan bodoh. Para dosen selalu dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Jika mereka tidak tahu, mereka akan dengan lugas menyatakan bahwa mereka tidak tahu. Saya senang dengan kejujuran mereka. Saya belajar bahwa dosen juga manusia yang terbatas, sehingga saya tidak perlu sungkan ataupun malu untuk bertanya. Jika dosen saja terbatas pengetahuannya, keterbatasan pengetahuan mahasiswa seperti saya sungguh sangat beralasan, bukan?

Metabolomics course Barcelona Jul 2016
Saya juga berkesempatan mengikuti kursus singkat tentang metabolomika di University of Barcelona pada Juli lalu

Topik tesis saya adalah efek konsumsi gandum utuh bagi ekspresi gen sel darah putih yang berperan dalam tahap awal penumpukan plak di dinding pembuluh darah, salah satu tahap awal proses yang mengakibatkan sakit jantung koroner. Saya beruntung bisa turut serta dalam sebuah studi intervensi manusia, sehingga saya dapat memiliki gambaran yang tentang bagaimana studi di bidang gizi dilakukan. Bagi pelajar dengan latar belakang pendidikan berbeda seperti saya, pengalaman ini sungguh berharga. Selama tesis ini, saya memperoleh pengalaman bekerja bersama para peneliti Belanda dan mempelajari beberapa hal.

Hal pertama yang saya pelajari adalah perencanaan mereka yang luar biasa matang dan penjadwalan kerja yang rapi sebelum studi dimulai. Semua pekerjaan dilakukan sesuai jadwal dan semua berjalan dengan lancar. Ketika salah satu dari kami berhalangan untuk melakukan sesuatu, penggantinya segera dicarikan. Mereka juga sangat menghargai waktu. Walaupun tidak ada hukuman, keterlambatan semenit pun tetap dianggap sebagai keterlambatan. Hal ini membuat saya belajar memperhitungkan dan menghargai waktu.

Hal kedua yang saya kagumi dari mereka adalah cara mereka menangani krisis. Suatu hari saya melakukan kesalahan yang membuat sekian sampel tidak dapat diidentifikasi secara jelas. Ketika saya mengakui kesalahan saya, pembimbing tesis saya menunjukkan sikap yang menurut saya solutif. Ia tidak marah dan menyalahkan saya, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa ia merasa kecewa karena kehilangan sejumlah data. Dengan lapang dada ia menyatakan bahwa hal seperti ini memang dapat terjadi dalam proses penelitian, dan tidak ada gunanya untuk terus bersedih. Tanpa bertanya, teknisi laboratorium di tempat saya bekerja juga dengan sigap membantu memperbaiki alat yang rusak karenanya. Kesalahan saya ini tidak diungkit dan tidak mempengaruhi penilaian akhir tesis saya. Cara mereka menangani krisis sungguh membuat saya belajar bagaimana menyikapi dan menangani masalah dengan kepala dingin.

Acara One World Week 2015 di Wageningen University, acara yang diselenggarakan oleh Wageningen University di mana mahasiswa dipersilakan mempertunjukkan kekayaan budaya negara masing-masing
Acara One World Week 2015 di Wageningen University, acara yang diselenggarakan oleh Wageningen University di mana mahasiswa dipersilakan mempertunjukkan kekayaan budaya negara masing-masing

Ketiga, saya suka dengan keterusterangan mereka. Bagi sebagian pelajar Indonesia, hal ini merupakan salah satu tantangan terberat hidup di Belanda. Mereka memang terkenal terus terang, sehingga tidak jarang komentarnya terasa agak panas di telinga. Akan tetapi, mereka tidak berniat “menyerang” secara pribadi. Saya suka dengan keterusterangan mereka ini, yang walaupun kadang terdengar menyakitkan, jika diresponi dengan baik akan sangat berguna demi kemajuan dan pengembangan diri.

Selepas tesis, saya masih mengambil beberapa mata kuliah sebelum memulai magang. Karena saya sudah pernah bekerja sebelumnya dan kesulitan saya menemukan perusahaan dengan riset fundamental seperti spesialisasi saya, saya berpikir untuk mencari magang di universitas lain dengan bidang riset yang sesuai. Demi mendapatkan pengalaman baru, saya sengaja mencari universitas di luar Belanda. Puji Tuhan, akhirnya peneliti di Departemen Gizi Klinis, University of Eastern Finland, menerima saya sebagai mahasiswa magang. Saya diperbolehkan memilih topik dari beberapa bidang penelitian mereka. Saya bersyukur atas kebebasan tersebut. Topik yang saya pilih adalah pendekatan metabolomika untuk mengamati perbedaan efek konsumsi telur dalam hubungannya dengan risiko diabetes. Metabolomika adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang metabolit, molekul kecil hasil metabolisme.

Saya merasakan perbedaan nilai sosial yang cukup besar antara orang Belanda dan orang Finlandia. Salah satunya adalah perbedaan cara berkomunikasi. Pembimbing dan kolega saya di Belanda lebih “perhatian” dan suka menanyakan kabar dan kemajuan proyek saya, akan tetapi pembimbing saya di Finlandia hanya akan menjawab pertanyaan saya ketika saya bertanya. Dengan demikian, saya harus aktif bertanya demi memperoleh informasi yang saya butuhkan. Akan tetapi, sesungguhnya ia adalah seseorang yang sangat baik dan ringan tangan. Bagi saya, lingkungan seperti ini memaksa saya untuk bersikap mandiri dan aktif. Tidak ada lagi rasa takut bertanya, karena tanpa bertanya saya tidak dapat menyelesaikan proyek saya.

Kegiatan canoeing bersama teman-teman di Finlandia musim semi lalu
Kegiatan canoeing bersama teman-teman di Finlandia musim semi lalu

Mendekati akhir periode magang, saya ditawari untuk melanjutkan studi S3 di kelompok riset tersebut. Di satu sisi, saya merasa tersanjung karena pekerjaan saya dianggap baik. Di sisi lain, saya ragu karena saya merasa harus sungguh tertarik dengan topiknya supaya tidak bosan mengerjakan proyek tersebut dalam jangka waktu yang lama. Kembali, saya menanyakan tentang kebebasan untuk menentukan arah topik saya. Pembimbing saya mengizinkan, walaupun sudah ada kerangka dasar yang telah ditetapkan. Bagi saya, ini merupakan peluang yang baik untuk mengembangkan ide dan kreativitas saya, sekaligus belajar bertanggung jawab mengerjakan proyek yang menarik minat saya. Karenanya, saya memberanikan diri mengambil peluang tersebut dan melanjutkan studi S3 di kelompok riset ini.

Hari ini, saya telah bekerja sebagai mahasiswa doktoral selama sekitar 3 bulan. Saya merasakan kebebasan luar biasa dalam bidang manajemen kerja dan waktu. Di Finlandia, kami hanya diwajibkan bekerja selama 1600 jam setahun. Jumlah jam kerja per hari atau per minggu tidak ditentukan dan pengaturan diserahkan kepada masing-masing pribadi. Bagi saya, ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan besar. Saya dapat menikmati waktu tidur sesuai yang saya butuhkan tanpa perlu menyalakan weker untuk memaksa saya bangun pagi. Efek sampingnya adalah saya bekerja hingga malam, sementara kolega-kolega saya yang datang pagi dapat pulang pada pukul 4 sore. Saya menyukai fleksibilitas waktu seperti ini. Kebebasan bekerja saya rasakan lebih banyak daripada ketika saya menjadi mahasiswa magang, karena saya bahkan dapat mengusulkan pendekatan atau pengerjaan yang ingin saya lakukan, ataupun dalam menentukan hal yang ingin saya pelajari. Kesempatan mengambil kuliah atau pelatihan di luar universitas pun terbuka.

Nordic Baltic Indonesian Scholars Conference di Helsinki, 12-13 November lalu
Nordic Baltic Indonesian Scholars Conference di Helsinki, 12-13 November lalu

Tantangan terbesar yang saya alami hingga saat ini adalah keterbatasan akses terhadap bahan makanan Asia. Di Belanda, bahkan di kota kecil seperti Wageningen, kami dapat menemukan bahan makanan Asia dengan sangat mudah. Harganya memang jauh lebih mahal dibandingkan dengan di Indonesia, tetapi apalah artinya dibandingan dengan kerinduan kami dengan cita rasa makanan tanah air. Namun, di Finlandia, bahan makanan Asia sangat terbatas. Bahkan ketika saya ke Helsinki dan menjajaki tiga supermarket bahan makanan Asia, saya masih tidak dapat memperoleh beberapa bahan yang saya cari.

Tantangan lain yang saya rasakan adalah cuaca. Dibandingkan dengan Belanda, suhu di sini jauh lebih dingin. Dibandingkan musim dingin di Belanda yang hanya mencapai -5 °C, saya dengar suhu di kota saya tinggal, Kuopio, mencapai -36 °C pada Januari lalu.  Beberapa kali saya terjatuh ketika saya jalan kaki di jalan dengan lapisan es. Pengalaman ini membuat saya bersyukur dengan alam tropis Indonesia yang sangat ramah bagi mereka yang kurang beruntung dan harus tidur di luar ruangan beralaskan koran. Wajar saja di sini saya tidak melihat gelandangan, karena mereka pasti mati beku tinggal di luar ruangan dalam waktu lama.

Perjalanan studi saya di sini masih sangat panjang. Saya masih tidak tahu seberapa sulit jalan yang akan saya hadapi nanti. Dengan segala keterbatasan saya, saya akan mencoba mensyukuri dan memetik sebanyak mungkin pelajaran yang saya temui. Saya percaya, pengalaman ini akan membuat saya menjadi pribadi yang kuat menghadapi tantangan apapun yang akan saya alami di masa depan.

 

Berikut ini pranala untuk PPI Belanda, PPI Wageningen, dan PPI Finlandia untuk informasi lebih lanjut tentang kegiatan mahasiswa Indonesia di Belanda secara umum, Wageningen secara khusus, dan Finlandia. Jumlah mahasiswa Indonesia di Finlandia tidak sebanyak di Belanda, sehingga tidak memiliki PPI kota.

(All photos courtesy of Stefania Noerman)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here