Adaptasi dalam Kuliah Nomaden di Eropa

0
2680
Musim semi di kota Bourgogne

Kuliah nomaden atau berpindah – pindah negara bukan hal aneh jika kalian mengikuti skema Erasmus+ dari Uni Eropa. Tahun 2009, kala itu namanya masih Erasmus Mundus, beruntung saya bisa menikmati pengalaman seru itu dalam program European master in Computer Vision and Robotics (Vibot). Negara – negara yang saya jejaki selama studi adalah UK (Scotland), Spanyol (Catalunya), dan Prancis (Burgundy). Pada artikel ini, saya akan memberi gambaran umum mengenai apa-apa saja yang perlu kita adaptasikan jika kuliah nomaden. Berikut rincian singkatnya:

 

Visa

Adaptasi soal kependudukan dan legalitas kita di suatu negara merupakan hal penting agar studi nyaman. Oleh karena itu, satu hal yang menjadi concern adalah kemudahan (atau kesukaran) saat harus mengurus  visa pelajardi masing – masing negara. Setiap semester, kita harus pindah negara (kadang tidak sampai satu semester, tapi satu term = 4 bulan). Pengurusan visa dan peraturan imigrasi negara Eropa yang kadang berubah – ubah sering membuat deg-degan.

Ketika di Spanyol, saya pernah mendapat masalah keterlambatan kartu residens (baru dapat saat akhir semester) dan tidak bisa membuat visa pelajar dari Indonesia namun harus dari negara terakhir tempat studi. Alhasil, dari Indonesia saya harus kembali ke Spanyol untuk membuat visa Prancis sebelum masuk ke Prancis. Jika sudah begini, seluruh persyaratanseperti hasil X-ray, medical letter dari dokter, paspor lama, fotocopy dokumen kependudukan, harus selalu dibawa saat kita berpindah – pindah negara. Kalau dipikir lucu juga, dalam satu waktu, visa pelajar Inggris masih berlaku, tetapi saya juga memegang kartu residens Prancis, Spanyol, dan Belanda sekaligus (multi-identity).

 

Housing

Masing – masing program Erasmus+ menawarkan fasilitas berbeda. Ada yang mengurus semua hal untuk mahasiswa, seperti pemilihan housing danada juga yang membebaskan mahasiswa untuk mengurusnya sendiri. Beruntung, untuk program Vibot, semuanya mulai dari visa, housing, cultural trip, buka akun bank, dsb, diurus oleh program coordinator. Namun, jika mahasiswa dibebaskan sendiri, harus berhati – hati dalam pemilihan housing. Setiap kita pindah ke negara baru, usahakan tinggal di housing yang disediakan kampus. Jika tidak, harus diperhatikan wilayah dan kondisi keamanannya. Ada baiknya, cari tahu dengan koordinator program, teman lokal atau orang Indonesia yang tinggal di kota tersebut untuk minta bantuan pemilihan tempat tinggal. Hati – hati juga dengan scams atau penipuan yang kadang memanfaatkan international students untuk mentransfer deposit dulu tanpa tahu kejelasan status housing-nya. Selain itu, adaptasi kamar baru  juga bisa membuat ‘jetlag’ di awal perkuliahan.

Setiap pindah negara, kami harus beradaptasi dengan housing student yang relatif mungil (saat di UK dan Prancis), lebih luas tapi sharing dengan orang lain (Spanyol), mengisi-menata isi kamar kembali, serta beradaptasi dengan tetangga-tetangga di tempat tinggal baru yang selalu berbeda. Ada baiknya sebelum perkuliahan dimulai, kita sudah tahu akan tinggal dimana dan urusan housing sudah beres.

 

Allowance

Perbedaan allowance atau tunjangan dalam kuliah nomaden, jika dibandingkan dengan beasiswa biasa adalah adanya skema mobilitas. Umumnya beasiswa ‘biasa’ memberi travelling/settlement allowance saat tiba dan selesai studi. Tapi, karena kita harus mobilisasi dan berusaha untuk ‘settle’ setiap semester maka di awal semester selalu ada tambahan settlement allowance tersebut (untuk tiket pesawat, membeli barang-barang lagi, dsb). Meskipun tidak pernah ada keterlambatan dalam pencairan dana, namun adaptasi untuk allowance tetap perlu. Menabung diperlukan karena setiap kita pindah negara, kita harus membuka membuka akun bank baru. Kadang, proses ini membutuhkan waktu beberapa hari sampai akun bisa aktif dan menerima allowance. Selalu sedia cash (dengan mata uang sesuai negara tersebut) atau credit card untuk cadangan.

Karena setiap negara kita membuat akun bank, alhasil kita memiliki banyak kartu ATM dan buku tabungan. Nah, simpan baik-baik dokumen bank tersebut dan jangan lupa untuk menutup akun bank saat kita keluar dari negara tersebut.

 

Bahasa

Adaptasi dalam Kuliah Nomaden di Eropa
Salah satu suasana kelas di program Vibot

Jika ingin menguasai suatu bangsa, pertama, kuasailah dan beradaptasilah dengan bahasanya….”, begitu kata pepatah. Ya, setiap berpindah negara, kami harus beradaptasi lagi dengan Bahasa yang baru. Meskipun kuliah diberikan dalam bahasa Inggris tapi untuk kehidupan sehari-hari, benar – benar tak bisa dihindari untuk berinteraksi dengan bahasa lokal. Beruntungnya, saat program Vibot, kita juga dapat kelas Bahasa (lab Bahasa Katalan saat di Spanyol) dan Prancis. Sebaiknya sebelum berangkat ke negara tertentu kita belajar sedikit – sedikit (minimal percakapan dasar) bahasanya. Saya sempat kursus intensif Prancis setiap hari (paginya) dan Spanyol (siangnya) selama tiga bulan sebelum berangkat.

Namun, tetap saja ketika sampai di sana awalnya agak shocked karena tidak bisa menangkap apa yang dibicarakan orang – orang. Tapi lumayan, setidaknya jika sudah belajar dulu, kita bisa membaca, misal membaca kandungan ingredients di kemasan makanan sebelum dibeli atau membaca petunjuk di jalan.

Saat sampai di Scotland, saya juga kaget dengan Bahasa Inggris, yang tidak terdengar seperti Bahasa Inggris. Sempat keteteran saat menghadiri lecture dengan orang asli Scotland yang bicara sangat cepat dengan aksen kental. Juga, sempat minta sopir bus mengulangi bicaranya (yang sangat Scottish) sampai tiga kali, tapi pada akhirnya tetap saja tidak mengerti. Seperti apa aksen Scottish? Tahu Hagrid-nya Harry Potter? Ya, kita – kita seperti itu.

Musim semi di kota Bourgogne
Musim semi di kota Bourgogne

Sampai di Barcelona, saat saya sudah pede dengan ‘bekal’ Bahasa Spanyol, justru dibuat kaget. Ya, ternyata disana mereka menggunakan Bahasa Katalan, yang ternyata sangat jauh berbeda dengan Bahasa Spanyol. Bahkan teman kami yang orang Spanyol dan Amerika Latin pun tidak mengerti (dan tidak bisa menebak) Bahasa Katalan. Alhasil, di sela kesibukan kuliah Computer Vision dan Robotics, kami harus mengikuti lab Bahasa Katalan tiap minggu. Bahasa yang unik, seperti campuran antara Bahasa Spanyol, Itali, Prancis. Misalnya, nama saya Vanya: ‘Em dic Vanya’, selamat pagi: ‘bon dia’, terimakasih banyak: ‘moltes gracies’, saya tidak mengerti: ‘no ho entenc’. Untuk lidah Indonesia, agak aneh mengucapkannya, sepertinya lidah kita lebih lentur dengan Bahasa Spanyol.

Dosen di tiap negara juga punya aksen berbeda, yang menjadi tantangan tersendiri (selain mata kuliah sulit, saat mereka menerangkan juga kita tidak ‘nangkap’). Misal saat di Prancis, semua dosen berbahasa Inggris sengau. Saat di Spanyol,  dosen berbicara juga dengan aksen ‘r’ yang kuat. Urusan lidah, selain Bahasa tentunya makanan. Adaptasi kuliner di tiap negara juga berbeda. Buat yang terbiasa memasak sendiri mungkin tidak terlalu merasa khawatir karena lidah terasa sama (cita-rasa masakan sendiri). Tapi bagi yang selalu makan di luar, nampaknya harus beradaptasi dengan menu yang ditawarkan di kampus (untuk paket student, harga lebih terjangkau ditawarkan di kantin). Pastikan juga kandungan bahannya semua aman.

 

Budaya

Vibot Introduction Day tahun 2009
Vibot Introduction Day tahun 2009

Sepertinya budaya harusnya ditaruh di poin nomor 1, sebab ini yang paling menarik. Bisa mempengaruhi mood dan kelancaran selama studi juga. Beda negara, beda pula budayanya. Pada dasarnya, culture shock harus dihadapi dengan cara beradaptasi lebih cepat dan open-minded. Saat sudah terbiasa terjadwal, cepat, dan tepat waktu di Inggris, saat pindah ke Spanyol, semuanya serba laid-back, santai, dan cenderung lebih ngaret, misalnya. Saat sudah terbiasa dengan 3-course-meal dengan dessert yang aduhai di Prancis, lalu harus berganti dengan roti keju untuk makan siang di Belanda. Saat terbiasa lebih reserved di Scotland, lalu merasa sangat berisik di Barcelona. Tak ada yang salah, semua hanya soal budaya. Bagaimana kita beradaptasi dan merasa nyaman dengan lingkungan kita berada-lah yang harus terus dilatih.

Yang spesial pada program Vibot di Erasmus+ ini adalah, kami memiliki mata kuliah Local Culture, yang terintegrasi dengan Cultural Trip. Tentu, inilah mata kuliah (ada creditnya juga) yang paling saya sukai, jika dibandingkan dengan mata kuliah lain seperti Autonomous Robotics, Medical Robotics, Visual Perception, 3D Digitization,  dsb.

Saat di Scotland, beragam eksplorasi budaya seperti menari di Ceilidh, berkunjung ke kastil Scotland, ke Highland, serta taman – taman kerajaan Scotland dilakukan pada semester ini. Di Prancis, mata kuliah Local Culture lebih serius karena kita ‘belajar’ sejarah Prancis, juga pengenalan kuliner Prancis seperti macaron, moutard de Dijon, aneka jenis cheese and tradisi cara minum wine (auction house, jenis – jenis anggur, cara menuang  wine – sampai cara menyeruput wine – ada juga komisi khusus yang bertugas menilai kualitas wine. Well, saya hanya melihat saja dari jauh).

Tak kalah menarik saat di Spanyol, tiap international student dipasangkan dengan satu ‘tandem’ budaya yang setiap minggu bertemu untuk bertukar budaya. Ini membuat kami masing – masing memiliki pengalaman budaya yang berbeda. Umumnya tandem ingin belajar Bahasa Inggris, sedangkan kita diajak mengeksplorasi budaya. Ada juga cultural trip ke Girona old city, Museum Salvador Dali di Figueres, pantai eksotis Cadaques di Costa Brava, serta area historis di Barcelona. Semuanya gratis!

Perpisahan kelas di Pantai Palamos, Spanyol, 2011
Perpisahan kelas di Pantai Palamos, Spanyol, 2011

 

Sistem pendidikan berbeda

Kuliah di beberapa negara berbeda juga berarti beradaptasi dengan sistem pendidikan berbeda. Di UK, sistem penilaian lebih ke grade A, B, C. Di Spanyol, dengan skala 0-100. Di Prancis, skala penilaian dengan full score 20. Semuanya berbeda… Belum lagi dengan cara pengajaran tiap universitas: ada yang lebih project-based, ada yang lebih teaching-based. Nah, setiap pindah kampus, kita selalu punya kartu pelajar. Jadi, di akhir masa studi saya memiliki empat kartu pelajar yang berbeda!

Selesai studi, ada yang mendapatkan satu ijazah (dengan cap dari semua universitas di konsortium), ada juga yang mendapatkan ijazah mutiple dari masing-masing universitas. Untuk kasus saya dulu, masing – masing universitas mengeluarkan ijazah yang harus ditebus. Sayangnya, ada masalah saat itu tentang pergantian kurikulum dan peraturan akademik di Spanyol sehingga harus mengurus banyak hal serta merogoh kocek cukup dalam untuk menebus ijazah. Alhasill, hanya ijazah Prancis dan Inggris berakhir di tangan (dan sebenarnya sudah cukup untuk meneruskan kerja atau studi lanjutan setelah itu).

 

Travel more!

Satu keuntungan dari kuliah nomaden adalah: kuliah saja jalan-jalan. Selain cultural trip yang ditawarkan secara gratis oleh program studi, kita juga bisa eksplorasi lebih banyak. Saat pindah ke satu negara, akan lebih nyaman untuk travelling ke negara-negara di sekitarnya dalam satu periode. Lalu, semester selanjutnya saat pindah ke negara di kawasan lain, kita bisa mengunjungi negara – negara di dekatnya. Skema ini lebih nyaman karena tidak terburu waktu (dibandingkan dengan tur keliling Eropa dalam satu waktu) dan lebih murah (karena jarak yang lebih dekat dengan negara tempat kita berada).

Saat perkuliahan, kita disibukkan dengan beradaptasi menjadi ‘orang lokal’: berbelanja di supermarket lokal, bergaul dengan warga lokal, mencicipi hidangan lokal, sampai berinteraksi dengan bahasa lokal, apalagi jika terdampar di desa dan bukan kota besar. Saat travelling adalah saat kita bisa menikmati menjadi turis!

 

 

Photos courtesy of Vanya Valindria

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here