Belajar di Salah Satu World’s Happiest Countries

4
2944

Ketika kecil dulu, saya ingat betul perkenalan saya dengan  Denmark sebagai sebuah negara ialah ketika saya menyaksikan pebulutangkis kebanggaan Indonesia berhadapan dengan pebulu tangkis Denmark di berbagai kejuaraan bulu tangkis internasional. Sayangnya, setelah itu pengetahuan saya terhadap Denmark tidak bertambah banyak, hanya sebatas bendera negara, ibukota negara, serta letaknya yang secara geografis berada di benua Eropa (tanpa tahu letak persisnya di peta). Saat itu, tidak pernah terbesit di benak saya bahwa saya akan menempuh pendidikan di negara yang selalu ada di peringkat atas dalam daftar “World’s Happiest Countries”.

Belajar di Salah Satu World's Happiest Countries

Setelah lulus program S1 dan bekerja, saya mulai mencari kesempatan melanjutkan studi di bidang bisnis. Kalau boleh jujur, dalam proses pencarian tersebut, saya tidak punya target negara, maupun jurusan spesifik. Kriteria yang saya tetapkan saat itu adalah keadaan negara yang kondusif dan ranking universitas secara internasional. Untuk yang terakhir bahkan saya tidak muluk-muluk amat. Dalam proses pencarian inilah saya mendapatkan informasi beasiswa yang ditawarkan Aarhus University. Di situ saya mulai riset kecil-kecilan mengenai Aarhus University dan negara Denmark itu sendiri dan mereka masuk kriteria yang saya jabarkan sebelumnya.

Saya pun mantap untuk melakukan proses pendaftaran danditerima sebagai mahasiswa program master dan mendapatkan beasiswa selama masa pendidikan (penjelasan detail mengenai prosesnya ada di sini). Setelah pengumuman, saya mulai mencari-cari informasi mengenai organisasi pelajar indonesia di Denmark (PPI Denmark) untuk konsultasi mengenai paperwork dan sebagainya. Satu fakta menarik yang saya perhatikan ialah jumlah anggota PPI Denmark yang boleh dibilang lebih kecil dibandingkan PPI di negara-negara eropa barat lainnya. Di sini saya mulai bertanya, “has Denmark been a popular destination for Indonesian students, ever?

Berdasarkan pengalaman saya saat ini yang hamper dua tahun tinggal di Denmark, saya akan coba jabarkan mengapa ini perlu diubah dan Denmark sebaiknya  dipertimbangkan lebih untuk menjadi destinasi tujuan pelajar-pelajar Indonesia untuk menuntut ilmu.

1. Tidak perlu memiliki kemampuan Bahasa Denmark untuk menuntut ilmu di Denmark

Salah satu hambatan untuk tinggal di negara asing mungkin adalah bahasa pengantar di kelas. Di Denmark, mayoritas program pascasarjana menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Dan yang tidak kalah penting ialah calon siswa tidak perlu takut kalau tidak punya kemampuan bahasa Denmark sama sekali ketika menginjakkan kaki di Denmark, karena mayoritas penduduk Denmark memiliki kemampuan bahasa Inggris yang sangat baik, sehingga tidak perlu khawatir untuk pergi ke supermarket, misalnya, dan bertanya menggunakan bahasa Inggris.

2. Kesempatan untuk belajar bahasa Denmark

Walaupun bahasa Inggris digunakan secara luas, tetap akan terasa janggal jika kita tinggal di suatu negara tapi tidak pernah belajar bahasa setempat. Bagi mereka yang ingin belajar bahasa Denmark, pemerintah Denmark memberikan kesempatan bagi pelajar asing untuk kursus Bahasa Denmark selama masa pendidikan secara gratis. Jika saya boleh jujur, bahasa Denmark tidak semudah bahasa Inggris untuk dipelajari, tapi akan ada kepuasan tersendiri ketikamengerti bahasa setempat, misalnya surat kabar tanpa bergantung pada Google Translate.

3. Work-life balance

Ketika masa awal belajar, saya kagum dengan dedikasi pelajar setempat yang berdiskusi dengan sesame ataupun duduk sendiri menatap serius layar laptop membaca materi kuliah. Bahkan sampai sulit untuk mendapat kursi kosong di area kampus. Tapi suasana ini akan berubah drastis di atas jam 4 sore; almost everyone will pack their stuffs and leave the school!

 Setelah saya tanya ke teman Danish saya, rupanya ini merupakan cerminan pola  work-life balance yang mereka anut dalam gaya hidup mereka sehari-hari. Mereka percaya bahwa kitaharus menyeimbangkan waktu untuk belajar atau bekerja dengan waktu pribadi. Bagi saya yang tumbuh dan besar di Jakarta dengan ritme hidup yang cepat hingga bahkan kadang-kadang kita lupa untuk meluangkan waktu pribadi untuk diri sendiri, pola  work-life balance di Denmark memberi perspektif baru bagi diri saya.

Belajar di Salah Satu World's Happiest Countries

Belajar di Salah Satu World's Happiest Countries

4. Kesetaraan

Denmark menjunjung tinggi kesetaraan;ini berarti tidak ada batasan berdasarkan gender (FYI, Denmark merupakan salah satu negara yang terlebih dahulu member hak bagi perempuan untuk memilih dalam proses pemilu), umur, ras, dan orientasi seksual. Semua individu memiliki kesempatan untuk berpendapat dan berkontribusi. Ini juga tercemin di interaksi antara siswa dan dosen. Menurut saya ini menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan memberi kesempatan bagi siswa untuk aktif berpatisipasi tanpa takut adanya batasan berdasarkan posisi. Antara sesama siswa juga tidak ada batasan senior dan junior, sehingga interaksi yang terjalin lebih seru. Hal ini tercermin di proses Ospek (Introduction Week) yang diselanggarakan tiap tahun ajaran baru dan juga dari interaksi sehari-hari antar sesama siswa.

5. Less paperwork

Pada masa-masa awal kedatangan sebagai mahasiswa dan pendatang di negara lain tentunya kita akan disibukkan dengan paperwork dan proses pendaftaran kepihak imigrasi setempat. Hal ini saya tidak rasakan sama sekali ketika saya pertama kali datang. Pihak universitas bahkan menjalin kerja sama dengan pihak imigrasi sehingga pelajar asing tidak perlu mendatangi pihak imigrasi untuk menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan. Saya mendapatkan kartu identitas dan kartu izin tinggal kurang dari dua minggu setelah pendaftaran. Dalam pendaftaran ke universitas dan pencarian housing juga saya terbantu sekali dengan efisiensi proses pencarian tempat tinggal yang dilakukan secara online.

Sebagai penutup, semoga kedepannya semakin berkurang pelajar-pelajar Indonesia seperti saya yang dihujani pertanyaan “why Denmark?” oleh teman dan keluarga ketika memutuskan untuk melajutkan pendidikan di Denmark, karena kalau anda bertanya kepada saya “why not Denmark?”.

 

Images courtesy of Alfan Rezani. 

 

4 KOMENTAR

  1. hi Alfan. tq utk ceritanya ttg denmark. Alfan, mohon infonya dong ttg scholarship di aarhus yg bisa kover biaya kuliah plus biaya hidup. Saat ini saya sudah dpt LoA utk program journalism di Aarhus lewat program Erasmus Mundus. Tapi, sygnya LoA saya statusnya self funding. jadi, skrg sdg cari sponsor. trims yah Alfan 🙂

    • Hi Dessy, selamat ya atas LoA-nya!

      Correct me if i’m wrong, tapi apakah LoA yang dimaksud kamu dapat dari Danism School of Media and Journalism (http://www.dmjx.dk/international) Sayangnya sekolah ini tidak berafiliasi dengan AU dan saya tidak familiar dengan DMJX maupun beasiswa di DMJX, jadi saya tidak bisa memberikan info lebih lanjut mengenai beasiswa di DMJX.

      Tapi jika LoA yang kamu dapat adalah dari Aarhus University berikut info yang bisa saya berikan. Setahu saya proses pendaftaran beasiswa di Aarhus University berjalan bersamaan dengan proses aplikasi kuliah, dimana calon siswa apply untuk admisi sekaligus beasiswa. Jadi mungkin tidak ada fundings yang ditawarkan lagi jika calon siswa sudah mendapat LoA. Keterangan tentang
      beasiswa Aarhus University bisa dibaca di
      http://kandidat.au.dk/en/admission/tuitionfees/

      semoga informasi ini membantu ya!

  2. Hai, Alfan. Thanks untuk informasinya soal Aarhus. Saya pengen nanya nih, karena saya bener-bener baru mau mulai dari 0. Kalau boleh tau dari beberapa beasiswa yang ditawarkan oleh Aarhus kamu dapet yang mana ya?
    Dan kalau misal saya mau apply for Aarhus Scholarship berarti harus apply for admission dulu gitu ya?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here