Tips Berburu Beasiswa

3
3967

Tulisan ini berkisah tentang pengalaman berburu beasiswa. Saya yakin, cerita tentang pengalaman mendaftar beasiswa di Indonesia untuk ke luar negeri sudah banyak, misalnya disini http://motivasibeasiswa.org/2011/01/tutik-rachmawati-tips-berburu-beasiswa/ atau http://myspiritmap.blogspot.com/2010/04/tips-memulai-berburu-beasiswa.html.

Pada catatan ini, saya ingin membagi strategi berburu beasiswa yang lain, di mana pola ini berlaku bagi beasiswa ke luar negeri (bersaing dengan sesama WNI), maupun beasiswa yang diburu ketika kita di luar negeri (saingannya mahasiswa se-penjuru dunia). Yang ingin saya garisbawahi, pintar dengan Indeks Prestasi tinggi tentu saja menjadi prasyarat pendaftaran beasiswa, misalnya IPK minimal 3.00 skala 4.00, tetapi IP tinggi dan afiliasi dengan universitas ternama tidaklah cukup. Banyak faktor lain yang berperan dalam keberhasilan menembus seleksi beasiswa di atas, diantaranya:

1. Kelengkapan Dokumen

This is a must. Kalau dokumen tidak lengkap dan tidak mematuhi batas akhir pendaftaran, lupakan saja poin-poin berikut yang akan saya paparkan. Karena dokumen yang tidak lengkap akan langsung masuk tong sampah. Plung!

2. Rencana Penelitian

Setiap pemberi beasiswa mempunyai mission statement khusus tentang organisasinya, oleh karena itu perhatikan baik-baik apakah rencana penelitian kita selaras dengan misi organisasi mereka. Jikapun tidak sama persis, setidaknya carilah irisan (intersection) topic yang bisa memberikan kontribusi pada organisasi tersebut. Oleh karena itu, jangan lelah untuk mengubah bentuk atau mendesain ulang rencana penelitian. Tokh rencana penelitian akan selalu berubah-ubah tergantung pembimbing akademik kita.

Cara paling mudah untuk menyesuaikan rencana penelitian adalah dengan membaca baik-baik profil organisasi dan tujuan diberikannya beasiswa. Selain itu, perhatikan baik-baik profil penerima beasiswa tahun-tahun sebelumnya. Informasi ini biasanya mudah didapatkan di website penyelenggara beasiswa.

3. Rekomendasi

Suatu kali, saya pernah menghabiskan waktu seharian dengan seorang professor yang kebetulan menjadi tim seleksi Fulbright di Washington DC. Beliau merekrut professor Amerika yang akan dikirimkan ke negara lain. Bagi tim beliau, setelah kelengkapan dokumen, hal berikutnya yang mereka periksa adalah surat rekomendasi: bukan cuma siapa yang menulis rekomendasi, tetapi apa yang mereka tulis disitu, walaupun si penulis rekomendasi bukan orang ternama.
Pesan beliau: Jangan terjebak pada surat rekomendasi normative dalam satu halaman, seperti “Si A adalah mahasiswa pintar dan saya rekomendasikan blah..blah..blah..”. Sebaiknya, surat rekomendasi berisi detail, misalnya:

Si X adalah salah satu mahasiswa saya yang paling potensial Dia mengambil kelas saya tentang..blah..blah..dan aktif berpartisipasi dalam diskusi, mengumpulkan tugas tepat waktu, dan menulis tugas akhir yang sangat menarik sehingga saya tidak segan-segan memberinya nilai A. Disamping itu, X memiliki kualitas kepemimpinan yang menonjol dibandingkan teman-temannya, hal ini dibuktikan dengan..blah..blah..blah…

Tentu saja isinya sangat subjektif, karena tergantung si penulis rekomendasi dan seberapa dekat kita dengan penulis rekomedasi tersebut.

Ingat: surat rekomendasi harus bisa memberikan justifikasi mengapa si pelamar berhak mendapatkan beasiswa, bukan hanya rekomendasi normative tanpa “nyawa”. Selain itu, jangan mengulang hal-hal yang sudah disebutkan dalam CV.

4. Pengalaman profesi

Pengalaman profesi tentu saja mempunyai nilai plus, tetapi tidak mutlak. Pengalaman kerja membuktikan sisi lain dari kemampuan leadership pelamar.

5. Pengalaman kerja sukarela

Kerja sukarela kelihatannya sepele, tetapi memegang peranan penting dalam pemberian beasiswa. Setiap beasiswa yang saya lamar, mereka mempunyai lembaran khusus tentang pertanyaan: apa yang sudah pernah Anda lakukan pada masyarakat (terutama perempuan dan anak)? Mentoring seperti apa yang telah dan sedang anda berikan pada komunitas?
Banyak rekan Amerika saya yang punya IP 4.00 skala 4.00 gugur dalam pencarian beasiswa karena tidak punya pengalaman ini. Seperti teman-teman ketahui, rata-rata mahasiswa PhD di Amerika berusia 23 sampai 27 tahunan yang waktunya dihabiskan untuk sekolah sejak lulus S1. Mereka alpa bahwa kerja sukarela dan membangun komunitas adalah wujud pengamalan ilmu yang mereka pelajari.

Oleh karena itu, jika teman-teman berniat mendaftar beasiswa di tahun mendatang, mulailah untuk melakukan kerja sosial dari sekarang. Apakah itu dengan membantu organisasi yang sudah berdiri atau membuat kegiatan baru atas inisiatif sendiri. Apalagi jika kegiatan sosial tersebut selaras dengan rencana penelitian kita.

6. Wawancara

Hampir semua beasiswa melakukan seleksi wawancara, baik itu secara tatap muka atau melalui telepon. Kunci wawancara sederhana saja: kita harus menguasai apa yang ingin kita pelajari atau teliti, konsisten dengan topic tersebut, harus bisa menjelaskan apa guna penelitian tersebut bagi masyarakat dan negara, dan harus bisa mengatakan secara percaya diri mengapa Anda layak mendapatkan beasiswa.
Selain itu, hindari membandingkan diri dengan orang lain, misalnya: kalau orang lain begini, tetapi saya begitu. Sebaiknya berikan fakta-fakta positif tentang diri Anda yang bisa memperkuat argumen bahwa Anda adalah yang terbaik.

Sebelum wawancara dimulai, biasanya panel pewawancara memperkenalkan diri termasuk latar belakang dan bidang keahliannya. Simak baik-baik apa yang mereka katakan, carilah keterhubungan latar belakang dan penelitian Anda dengan mereka. Menurut pengalaman, Anda bisa menilai efektivitas keterhubungan ini di akhir wawancara, karena Anda akan segera paham siapa diantara panel pewawancara tersebut yang mendukung dan siapa yang tidak.

7. Hubungi Alumni penerima beasiswa yang Anda lamar (tambahan info dari Ika Nurhayani-Cornell University)

Menghubungi dan mendengarkan pengalaman dari alumni penerima beasiswa yang Anda lamar akan memberikan insight dan strategi yang bermanfaat, terutama dalam dos and don’ts.

8. Konferensi dan Publikasi (tambahan info dari Ika Nurhayani-Cornell University)

Apabila Anda mencantumkan daftar publikasi ilmiah dan presentasi di Konferensi, tentu saja hal tersebut membuat peluang Anda lebih besar dari kandidat lain. Jika Anda belum pernah melakukan presentasi di sebuah konferensi, sebaiknya Anda mulai dari sekarang. Carilah konferensi (di bidang Anda atau yang bersinggungan dengan bidang Anda) di universitas lokal, nasional, maupun internasional. Konferensi di tingkat nasional lebih mudah dilakukan karena tidak memakan biaya terlalu banyak, tetapi banyak juga konferensi regional ASEAN yang menawarkan subsidi bahkan sponsor penuh (termasuk tiket pesawat dan hotel) bagi para pembicara/presenter. Coba Anda kunjungi conferencealert.com sebulan sekali untuk mendapat informasi. Hal yang sama berlaku bagi publikasi. Mulailah rajin mencari “call for paper” untuk publikasi atau mulailah menulis dan mengirmkannya ke jurnal nasional atau internasional.

Sekali lagi, publikasi tidak mutlak menentukan seseorang lolos mendapat beasiswa atau tidak, tetapi membuat peluang Anda lebih BESAR dibandingkan kandidat lainnya.

9. Faktor X

Selain hal-hal di atas, ada faktor X yang kelihatannya sepele dan gombal tetapi bisa menentukan keberhasilan, walaupun tidak masuk akal, yaitu: keterhubungan acak (random connectedness)

Menurut pengalaman saya ketika mendaftar beasiswa di salah satu sayap lembaga keuangan dunia di Washington DC, mereka menginginkan kandidat yang concern pada pendidikan dan kesehatan. Bidang saya tidak secara langsung berhubungan dengan kedua bidang itu, tetapi saya bisa menemukan irisan kepentigannya. Selama wawancara, saya tidak yakin akan berhasil, hanya satu pertanyaan yang membuat saya optimis menjawabnya: “why do you think you are the best candidate for this scholarship?” Saya bilang “saya tidak cuma berencana akan mengerjakan ini-itu di Indonesia, tetapi saya telah membuat impact. Dengan beasiswa ini saya bisa menyelesaikan S3 saya dan dengan Ph.D degree saya yakin akan membuat impact yang lebih besar lagi.”

Sebulan kemudian, saya mendapat kabar bahwa saya mendapatkan special award untuk beasiswa tersebut. Dalam resepsi penerimaan beasiswa yang dilakukan di boardroom Bank Dunia selama tiga hari berturut-turut, seorang panitia seleksi mendekati saya. Seorang perempuan Jepang yang menikahi pria Amerika yang mempunyai jabatan senior di Bank tersebut. Dia bilang, “sebetulnya area penelitianmu tidak selaras dengan misi organisasi, tetapi ada interseksional di bidang pendidikan dan saya pernah tinggal di Jakarta di tahun-tahun itu, dan banyak orang menghargai apa yang kamu lakukan. Oleh karena itu, saya mempertahankan dirimu sekuat tenaga agar menjadi penerima beasiswa.”

Resepsi tersebut dilanjut dengan makan malam yang dibuka oleh Sri Mulyani Indrawati, mewakili Presdir Bank Dunia yang saat itu sedang ke luar negeri. Meja makan malam diatur sehingga penerima beasiswa, panitia seleksi, dan pejabat Bank Dunia berbaur dalam satu meja. Di sebelah saya duduk seorang perempuan Amerika bersuamikan warga negara Jepang yang rupanya menjadi pejabat senior di Bank Dunia. Si Jepang bertanya: “siapa sih SMI di Indonesia?”. Maklumlah, posisi Managing Director adalah posisi politis, bukan karir. Anyway, yang menarik dari pasangan ini adalah si istri yang juga mencalonkan saya sebagai salah satu pemenang beasiswa. Alasannya: “saya dan suami bertemu di Fujionimya, dan saya lihat di CV kamu, kamu menghabiskan dua tahun belajar bahasa di sana”.
Halah…. ternyata hal yang paling vital dalam pengambilan keputusan beasiswa saya adalah dua perempuan ini.
Beasiswa pun bisa sangat subyektif!
Faktor X inilah sedikit banyak ditentukan oleh doa dan keberuntungan.

Selamat berburu beasiswa.

Tonawanda, New York

 

Photo by Dave Herholz via flickr


BAGIKAN
Berita sebelumyaHow to approach the job application process: Experiences from the think tank/non-profit sector
Berita berikutnyaPengalaman bekerja di Silicon Valley
Nuning Hallett (or Nuning Purwaningrum) is a Ph.D. Candidate in Global Gender Studies at State University of New York at Buffalo. She received Fulbright scholarship, University at Buffalo Presidential Fellowship, and Margaret McNamara Memorial Funds for her Ph.D. program. Her main research focuses on mixed-nationality marriages, migration, virtual activism among Indonesian women migrants and citizenship. Her academic interests stemmed from her advocacy and intervention works for Indonesian women in transnational marriage for 12 years. She is the initiator of limited-dual citizenship for children, an idea that was adopted in the newly amended Indonesian Citizenship laws 2006. While completing her Ph.D. degree, she is managing “Komunitas Kawin Campur”, a network of 4,000 Indonesian marriage migrants living all over the world and serving as one of coordinators for petition of Dual Citizenship for Indonesian Diaspora, which was submitted in CID 2012 in Los Angeles.

3 KOMENTAR

  1. Thank you for the Ping Back Nuning Hallett, sukses untuk studi PhDnya. Salam kenal

    Tutik Rachmawati
    Birmingham – UK

Tinggalkan Balasan ke Rachmawati Tutik Batal balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here